Sunday 6 January 2013

PERBANKAN SYARIAH INDONESIA MENUJU MILLENIUM BARU:

Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan Prospek
Oleh: Dhani Gunawan
A. Perbankan Syariah Suatu Paradigma Baru; Menembus Impian Akademis
Sejak awal abad pertengahan hingga awal abad ke-20 konsep bank syariah yang
berintikan kepada bagi hasil masih merupakan kajian akademis oleh para ilmuwan muslim,
dalam hal ini lebih banyak para ekonom atau bankir yang meragukan sistem perbankan syariah
dapat diterapkan dalam sistem perekonomian. Sementara itu perbankan konvensional yang kita
kenal dewasa ini merupakan suatu proses evolusi dan uji coba yang telah berjalan dengan mapan
selama berabad-abad dalam masyarakat. Dengan perjalanan waktu yang cukup panjang tersebut,
maka tidaklah mengherankan apabila persepsi hampir sebagian besar masyarakat tertanam
pengertian bahwa hanya terdapat satu sistem perbankan di dunia ini, yaitu sistem operasi bank
dengan bunga. Pengertian bahwa bank akan terkait dengan suku bunga merupakan suatu
pengertian definitif dalam dunia bisnis, dan merupakan kaidah akademik pada berbagai literatur
para pakar ekonomi perbankan.
Selain itu masih banyak masyarakat yang memiliki persepsi yang belum tepat mengenai
kegiatan usaha bank syariah. Secara visual dan analogis masyarakat banyak yang menafsirkan
bank syariah sebagai bank konvensional dengan menggunakan bagi hasil dalam penghitungan
kredit dan simpanan dana. Pandangan yang demikian dapat dipahami karena informasi dan
publikasi mengenai kegiatan bank syariah sangat minim. Memasuki gerbang pemahaman bank
syariah akan berhadapan dengan suatu paradigma baru, suatu pengertian atau pandangan yang
sama sekali baru dan sejenak harus melupakan pola pikir bank konvensional.
Paradigma baru yang pertama adalah hubungan bank dengan nasabah. Dalam bank
syariah hubungan bank dengan nasabah adalah hubungan kontrak (contractual agreement) atau
akad antara investor pemilik dana atau shahibul maal dengan investor pengelola dana atau
mudharib yang bekerjasama untuk melakukan usaha yang produktif dan berbagi keuntungan
secara adil (mutual investment relationship). Dengan adanya hubungan kerjasama investasi
tersebut pada dasarnya akan mewujudkan suatu hubungan usaha yang harmonis karena
berdasarkan suatu asas keadilan usaha dan menikmati keuntungan yang disepakati secara
proporsional. Sedangkan apabila kita amati hubungan nasabah dan bank dalam bank
konvensional maka dalam bank konvensional hubungan antara bank dengan nasabah pada
dasarnya merupakan suatu hubungan kreditur dengan debitur dengan menerapkan sistem bunga.
Walaupun terdapat keinginan manajemen bank konvensional untuk mewujudkan suatu hubungan
yang bersifat pembinaan dan kerjasama antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai
debitur, namun dalam prakteknya tujuan yang baik tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan
secara konsisten dan efektif karena pada dasarnya tujuan akhir dari bank adalah meraih profit
atau keuntungan dengan seringkali mengabaikan kondisi nyata nasabah apakah usahanya sedang
mengalami keuntungan atau kerugian. Dengan demikian tidak dapat terhindarkan adanya suatu
hubungan eksploitatif antara bank dengan nasabah atau sebaliknya antara nasabah dengan bank,
hal ini dapat terjadi karena dalam pemberian kredit bank akan berusaha mendapatkan bunga
yang setinggi-tingginya sedangkan nasabah akan berusaha menekan bunga serendah-rendahnya.
Sebaliknya nasabah sebagai deposan akan berupaya untuk mendapatkan bunga setinggi___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
2
tingginya tanpa memperhatikan kondisi bank yang sebenarnya sedang kesulitan likuiditas
sehingga secara terus menerus mengalami negative spread dan akhirnya modal negatif.
Walaupun telah diakui bahwa sistem bank konvensional merupakan sistem yang aplicable
diseluruh penjuru dunia, namun dalam kenyataannya terlihat kesulitan untuk menahan negative
spread yang terjadi di negara kita sehingga sangat merepotkan kondisi perbankan di Indonesia.
Paradigma yang kedua adalah adanya larangan-larangan kegiatan usaha tertentu oleh
bank syariah yang bertujuan menciptakan kegiatan perekonomian yang produktif, adil dan
menjunjung tinggi moral. Bank syariah akan mewujudkan produktifitas karena akan mengikis
habis konsep time value of money dan melarang transaksi yang bersifat spekulatif. Sejalan
dengan konsep Islam mengenai harta benda dan sumber daya alam, maka harta benda dan
sumber daya alam yang ada harus dimanfaatkan, digunakan, dan produktif untuk kesejahteraan
masyarakat. Konsep penggunaan harta benda dan sumber daya alam ini akan sangat menentang
adanya penumpukan harta benda, tanah, atau sumber daya alam yang dikuasai oleh sebagian
kecil masyarakat dan tidak produktif, termasuk pemutaran dana pada bank tanpa adanya
investasi yang nyata. Bank syariah dapat menciptakan perekonomian yang adil karena konsep
usaha dalam bank syariah adalah bagi hasil dan tidak memungkinkan seorang deposan yang
memiliki uang yang banyak menanamkan dananya pada bank tanpa menanggung risiko
sedikitpun, sementara pihak bank atau pengelola dana akan dibebani tanggungjawab yang sangat
besar untuk mengelola dana dan menghasilkan keuntungan. Adalah suatu yang sangat adil
seorang deposan menerima proporsional keuntungan nyata yang diterima oleh bank dan juga
menanggung risiko kerugian. Argumen lain tentang bank syariah, yaitu memiliki keunggulan
dalam penjaga lingkungan dan moral karena didalam struktur organisasi bank syariah wajib
memiliki dewan pengawas syariah. Bank syariah dilarang menyalurkan dana untuk suatu proyek
yang akan berdampak secara langsung atau tidak langsung dengan kerusakan lingkungan. Selain
itu bank syariah dilarang menyalurkan dana untuk proyek yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
moral seperti pembiayaan industri minuman keras, sarana perjudian, atau proyek-proyek lain
yang dapat merusak moral atau kesehatan manusia. Tujuan dan nilai-nilai moral dalam bank
syariah berdasarkan pengamatan logis the man in the street maupun disodorkan untuk penelitian
akademis akan membentuk suatu hipotesa awal yang valid bahwa bank syariah sangat
menunjang terwujudnya sistem perekonomian yang sehat dan manusiawi bahkan Khan dan
Mirakhor (1989) menyatakan bahwa perbankan Islam akan lebih stabil dalam menyerap
goncangan perekonomian eksternal dibandingkan dengan perbankan konvensional. Secara
ringkas perbedaan paradigma pertama dan kedua dapat digambarkan pada tabel 1.
Tabel 1
FAKTOR KUNCI BANK KONVENSIONAL BANK SYARIAH
Hubungan bank
dengan nasabah
Investor dengan investor Kreditur dan debitur
Sistem Pendapatan
Usaha
Bunga, Fee Bagi hasil, Marjin, Fee
Organisasi Tidak terdapat struktur pengawasan
syariah
Terdapat struktur pengawasan syariah
yaitu Badan Pengawas Syariah
Penyaluran
Pembiayaan
Liberal untuk tujuan keuntungan Adanya batasan-batasan,
memperhatikan unsur moral dan
lingkungan
Tingkat risiko umum
dlm usaha
Risiko menengah-tinggi karena
adanya transaksi spekulasi
Risiko menengah-rendah karena
melarang transaksi spekulasi
Penanggung Risiko
Investasi
Satu sisi hanya pada bank Dua sisi yaitu bank dan nasabah
(deposan maupun debitur)
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
3
Paradigma yang ketiga adalah kegiatan usaha bank syariah yang lebih variatif dibandingkan
dengan bank konvensional yang kita kenal dewasa ini, karena dalam bank syariah tidak hanya
berlandaskan sistem bagi hasil tetapi juga sistem jual beli, sewa beli, serta penyediaan jasa
lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinisip syariah. Walaupun terdapat beberapa
pendapat para ahli yang mempertanyakan kembali mengenai fungsi kelembagaan bank syariah
sebagai “bank” atau “perusahaan investasi” namun demikian secara aplikasi tidak dapat
diragukan lagi bahwa keragaman kegiatan usaha bank syariah tersebut telah
menumbuhkembangkan berbagai aspek transaksi ekonomi dalam masyarakat sehingga bank
syariah akan mamiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kebutuhan dunia usaha. Secara umum
perbedaan dasar kegiatan usaha bank konvensional dan bank syariah.
Dasar Kegiatan Usaha Bank
Konvensional
Bank Syariah Keterangan
Kredit (bunga) v penyaluran kredit atau penanaman
dana lainnya
Pembiayaan (bagi hasil) v prinsip mudharabah dan musyarakah
Jual-beli v prinsip bai/salam
Sewa-beli v prinsip ijarah
Simpanan dana (bunga) v deposito, tabungan, atau giro
Investasi dana (bagi hasil) v Investasi tidak terbatas, deposito,
tabungan, giro.
Investasi terbatas/khusus v prinsip mudharabah muqayadah
Jasa perbankan v v prinsip ujrah (bank syariah), fee base
income (bank konvensional)
Paradigma yang keempat adalah penyajian laporan keuangan bank syariah akan terkait erat
dengan konsep investasi dan norma-norma moral/sosial dalam kegiatan usaha bank. Selain
penyajian laporan keuangan bank sebagai lembaga pencari keuntungan juga terdapat laporan
keuangan yang terkait dengan bank sebagai fungsi sosial. Dengan memperhatikan dasar keadilan
dan kebenaran maka konsep Islam dana pencatatan keuangan tetap mengacu kepada konsep
dasar laporan keuangan yaitu dapat dipertanggungjawabkan, tranparans, dan keadilan. dapat
diperbandingkan, namun demikian dalam pencatatan transaksi keuangan dilakukan berbeda
dengan jenis laporan keuangan bank konvensional sebagaimana diuraikan dalam Tabel 2.
Tabel 2
NO BANK KONVENSIONAL NO BANK SYARIAH *)
123
Laporan Neraca
Laporan Laba/Rugi
Laporan Rekening Administratif
1234
56
7
Laporan Neraca
Laporan Laba/Rugi
Laporan Arus Kas
Laporan Perubahan Modal Pemilik dan Laporan
Laba ditahan
Laporan Investasi Terbatas
Laporan Sumber dan Penggunaan Zakat dan
Dana Sumbangan
Laporan Sumber dan Penggunaan dana Qard
Sumber: Accounting & Auditing Standards for Islamic Financial Institutions, AAOIFI, 1998
Selanjutnya apabila kita amati lebih lanjut maka pos-pos pada neraca bank syariah akan
berbeda dengan bank konvensional. Pos-pos neraca bank syariah akan berpedoman kepada
standar akuntansi lembaga keuangan Organisasi Akuntansi dan Auditing bagi Lembaga
Keuangan Islam (AAOIFI) yang berkedudukan di Bahrain pada tahun 1991. Dengan mengacu
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
4
kepada standar akuntansi yang diterbitkan tersebut maka dapat kita lihat perbedaan yang
subtantif dengan bank konvensional pada pos-pos neraca tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3
BANK KONVENSIONAL LEMBAGA KEUANGAN/BANK SYARIAH *)
Aktiva
1. Kas
2. Bank Indonesia
?? Giro
?? Seritifikat Bank Indonesia
?? Lainnya
3. Antar Bank Aktiva
4. Surat-surat berharga dan tagihan lainnya
?? surat-surat berharga yang dimiliki
?? tagihan lainnya
5. Kredit
6. Penyertaan
7. Cadangan aktiva produktif
8. Aktiva Tetap dan inventaris
9. Antar kantor aktiva
10. Rupa-rupa aktiva
Aktiva
1. Kas dan setara kas
2. Piutang penjualan
3. Investasi:
?? investasi dlm surat berharga
?? investasi mudharabah
?? investasi musyarakah
?? penyertaan modal
?? persediaan
?? investasi dlm real estate
?? aset untuk disewakan
?? istishna
?? investasi lain
Total investasi
4. Aset lain
5. Total aset
P a s i v a
1. Giro
2. Kewajiban-kewajiban segera lainnya
3. Tabungan
4. Simpanan Berjangka
5. Bank Indonesia
?? Kredit likuiditas
?? Dana kelolaan
?? Fasilitas diskonto
?? Lainnya
6. Antar bank pasiva
7. Surat-surat berharga yang diterbitkan
8. Pinjaman yang diterima
9. Setoran jaminan
10. Antar kantor pasiva
11. Rupa-rupa pasiva
12. Modal
13. Cadangan
14. Laba/rugi
P a s i v a
1. Current Account dan Saving Account
2. Current Account bank/lembaga keu
3. Piutang
4. Dividen yang diusulkan
5. Kewajiban lainnya
Total kewajiban
6. Rekening investasi tdk terbatas
7. Saham minoritas
Total kewajiban, investasi tdk terbatas dan
saham minoritas
8. Modal pemilik:
?? modal disetor
?? cadangan
?? laba ditahan
Total modal pemilik
9. Total kewajiban, rekening investasi tdk terbatas,
saham minoritas dan modal pemilik
*)Sumber: Accounting & Auditing Standards for Islamic Financial Institutions, AAOIFI, 1998
Adanya penyajian laporan keuangan bank syariah akan membuka pengetahuan baru
bahwa dalam laporan sisi aktiva pada dasarnya melaporkan pengelolaan dana deposan dalam
berbagai bentuk investasi hal ini terkait erat dengan fungsi bank syariah sebagai lembaga
pengelola investasi (manajemen investment) atau agen investasi (investment agent). Pada pos
aktiva dikenal berbagai bentuk-bentuk pos neraca yang baru yaitu berbagai macam investasi
oleh bank (mudharabah, musyarakah, aset dalam ral estate , istishna, investasi lain), piutang
penjualan yaitu piutang yang timbul dari marjin jual beli atau “murabahah”, persediaan yaitu
pos untuk menampung aset yang masih dalam proses penjualan, dan aset dalam sewa yaitu aset
yang masih dimiliki oleh bank dalam transaksi sewa beli. Selain itu walaupun masih menjadi
perdebatan yang hangat diantara para Islamic Accounting Schollar mengenai konsep kas dan
konsep akrual, laporan keuangan laba/rugi lembaga keuangan syariah cenderung dihitung
secara cash basis dengan alasan lebih menunjukkan transaksi keuangan bank yang nyata.
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
5
B. Mekanisme Investasi Dalam Bank Syariah: Bagi Hasil dan Non-Bagi hasil
Dengan memperhatikan berbagai referensi mengenai konsep penyaluran dana bank
syariah maka mekanisme investasi atau pembiayaan dalam bank syariah pada dasarnya dibagi
dalam dua golongan utama yaitu bagi hasil “Profit and loss sharing modes” atau PLS, dan “
Non Profit and loss sharing modes” atau Non-PLS. Dalam model PLS maka antara bank dengan
nasabah terdapat hubungan sebagai pengelola dana dan pemilik dana atau sebaliknya dengan
memperjanjikan nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh. Sedangkan dalam model
Non-PLS maka antara bank dengan nasabah terdapat hubungan transaksi jual beli atau
perolehan imbalan atas jasa, sehingga bank akan memperoleh margin keuntungan dari transaksi
jual beli, atau fee dari pelayanan jasa yang diberikan.
Secara umum model pembiayaan PLS dan transaksi Non-PLS dapat digambarkan dalam
tabel sebagai berikut 1):
Tabel 4
PLS NON-PLS
MODEL TRANSAKSI MODEL TRANSAKSI
Mudharabah Bagi hasil Qardhul Hasan Kebajikan
Musyarakah Bagi hasil Bai’ Muajjal Jual-beli
Muzaraah Bagi hasil Bai’ Salam Jual-beli
Muzaqat Bagi hasil Ijara/Ijara wa iqtina Sewa/Jual-beli
Direct Investment Bagi hasil Murabahah Jual-beli
Jo’alah Fee
1)Sumber IMF Working Paper Maret 1998
Selain itu penting untuk dicermati adanya 2 jenis skim operasi dalam bank syariah yaitu Twotier
Mudaraba dan Two windows sebagaimana diulas oleh Khan and Mirakhor (1993) dalam
analisis model pembiayaan bank syariah. Adanya dua bentuk skim operasi bank syariah tersebut
akan berpengaruh cukup siginifikan terhadap perhitungan risiko pada kegiatan usaha bank
khususnya dari sisi liabilities.
Pada penerapan skim Two-tier Mudaraba memiliki konsekuensi adanya integrasi penuh
aktiva dan pasiva bank. Dalam skim tersebut maka deposan akan diperlakukan sebagai akad
mudharabah sehingga bank dapat menginvestasikan giro maupun simpanan berjangka lainnya
dalam pembiayaan atau investasi lainnya. Dengan demikian seluruh simpanan akan diperlakukan
tanpa jaminan “non guaranteed” karena seluruhnya berbasis mudharabah. Reserve requirement
dalam skema ini akan dihitung berdasarkan sifat dan jenis kewajiban segera yang harus
disiapkan oleh bank.
Dalam skim Two Windows sisi pasiva bank dalam simpanan dibagi dalam dua bentuk
yaitu giro (demand deposits) dan simpanan investasi (investment deposits). Simpanan giro
diperlakukan sebagai simpanan amanah yang bersifat guaranteed, sehingga menjadi kewajiban
bank untuk menyimpan dan mengembalikan setiap saat apabila diminta oleh pemiliknya.
Berbeda dengan skim two-tier mudaraba, dalam skim two windows, bank harus memiliki reserve
requirement 100% sesuai dengan simpanan giro masyarakat. Simpanan giro ini tidak dapat
diinvestasikan karena betul-betul diperlakukan sebagai simpanan amanah. Adanya perbedaan
skim operasi bank syariah tersebut memiliki pengaruh yang cukup mendasar dalam pengaturan
prinsip kehati-hatian bagi operasi perbankan syariah, yaitu dalam penghitungan capital adequacy
ratio maka yang diperhitungkan sebagai aset tertimbang menurut risiko adalah bagian yang tidak
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
6
termasuk giro karena bersifat guaranteed. Konsekuensi lainnya adalah berkaitan dengan
menajemen likuiditas yang dituangkan dalam maturity profile yang mengharuskan bank untuk
setiap saat memelihara likuiditas yang cukup besar sebagai antisipasi penarikan dana giro yang
sebenarnya untuk periode waktu yang lebih banyak menjadi dana nganggur atau idle.
Selanjutnya karena adanya pemisahan antara sisi guaranteed dan unguaranted maka secara
ekonomis dari sisi mobilisasi dana akan terjadi penumpukan dana yang tidak produktif pada sisi
guaranteed neraca bank.
C. Pengawasan dan Penerapan Prinsip Kehati-hatian Perbankan Syariah
Berkaitan dengan kegiatan usaha bank syariah, maka pengawasan bank merupakan salah
satu tugas pokok bank sentral atau lembaga yang dibentuk secara khusus untuk mengawasi
perbankan. Dalam menjalankan tugasnya otoritas pengawas perbankan mutlak memerlukan data
dan informasi yang senantiasa kini dan akurat dari bank-bank yang diawasinya dalam rangka
mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Selain memiliki data yang kini dan akurat,
pengawasan perbankan syariah juga memerlukan piranti pengaturan dalam bentuk standarstandar
pengukuran kinerja atau tingkat kesehatan perbankan seperti standar CAMEL atau
prinsip kehatian-hatian antara lain Ketentuan Pemenuhan Modal Minimum ( KPMM atau CAR),
Posisi Devisa Neto (PDN), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), atau Nisbah
Pembiayaan Terhadap Simpanan (NPTS) yang kita kenal selama ini. Dengan dikenalnya sistem
perbankan syariah maka perlu kita kaji apakah penerapan standar CAMEL dan ketentuan kehatihatian
(prudential banking) tersebut dapat diterapkan pula kepada sistem perbankan syariah.
Mengingat secara mekanisme kegiatan usaha terdapat perbedaan yang prinsipil antara
bank konvensional dan bank syariah, maka timbul pertanyaan mendasar bagaimana penerapan
prudential regulation pada bank syariah. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah
prinsip kehati-hatian diperlukan dalam perbankan syariah mengingat hakikatnya risiko investasi
dana masyarakat pada bank syariah ditanggung pula oleh pihak pemilik dana atau investor dana.
Adanya adagium bahwa risiko bank syariah adalah juga risiko deposan menimbulkan perdebatan
yang cukup hangat mengenai penerapan model-model prinsip kehati-hatian pada bank syariah.
Penerapan prinsip kehati-hatian pada bank syariah telah lama menjadi isu para pakar perbankan.
Pada working paper IMF (Maret 1998) “Islamic Banking: Issues in Prudential Regulations and
Supervision” dinyatakan bahwa implementasi prinsip kehati-hatian pada bank syariah dapat
menggunakan referensi standar Basle Committee on Banking Supervision (BIS) sebagaimana
telah diterapkan pada bank konvensional. Namun demikian disadari bahwa standar BIS tidak
dapat sepenuhnya diadopsi dalam perbankan syariah. Terdapat beberapa kendala yang dapat
menyulitkan penerapan standar prinsip kehati-hatian yang berpatokan kepada BIS yaitu adanya
perbedaan penerapan prinsip syariah dalam beberapa negara muslim, adanya perbedaan derajat
penerapan prinsip syariah dalam lembaga atau instrumen perekonomian seperti Iran yang
konservatif dan Malaysia yang liberal. Secara umum kerangka kerja bank konvensional dan bank
syariah dapat digambarkan sebagai berikut 2) :
Tabel 5
KARAKTERISTIK BANK SYARIAH BANK KONVENSIONAL
Penjaminan:
Simpanan giro
Simpanan investasi
Ya
Tidak
Ya
Ya
Equity-Based dimana Modal Ya Tidak
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
7
sebagai risiko
Pendapatan simpanan Tidak ditentukan
Tidak dijamin
Tertentu
Dijamin
Mekanisme pengaturan
pendapatan dari simpanan
Tergantung dari kinerja
bank/pendapatan investasi
Tidak tergantung dari kinerja
bank/pendapatan investasi
Sistem bagi untung dan rugi
(PLS)
Ya Tidak
Penggunaan dari model
pembiayaan bagi untung dan rugi
(PLS) dan non PLS
Ya N/A
Penerapan agunan Dimungkinkan untuk mengurangi
itikad buruk /moral hazard
Ya untuk non PLS
Ya/selalu
2) sumber Working Paper IMF Maret 1998
Selanjutnya dengan mengacu kepada standar CAMEL bank konvensional dan tabel-tabel yang
telah diuraikan diatas, maka secara umum dapat diajukan beberapa pemikiran yang berupa
hipotesa awal mengenai model-model pengawasan bank syariah berdasarkan prinsip kehatihatian
sebagai berikut:
Tabel 6
FAKTOR KETENTUAN YANG
BERLAKU
BANK SYARIAH
Bank Konvensional dan
Bank Syariah
Working Paper IMF Hipotesa Penerapan
Permodalan:
Modal disetor Rp 3 T n/a -Jumlah yang sama dengan
bank konvensional
CAR minimum 8% minimum 8% atau lebih rasio modal yang ditetapkan
minimal sama dengan
standard bank konvensional,
bahkan sebaiknya lebih besar
(IMF min 8%, AAOIFI
menyarankan sekitar 12%)
ATMR Bobot risiko:
1. Neraca
-0% (kas, emas, giro di BI,
tagihan/kredit dijamin
pemerintah)
-20% (tagihan/kredit yang
diterbitkan/ diberikan oleh
bank lain, pemerintah daerah,
lembaga non departemen)
-50% (tagihan/kredit yang
diberikan BUMN, perusahaan
milik pemerintah pusat negara
lain)
-100% (tagihan atau kredit
kepada pihak lain).
2. Rekening Administratif
Bobot risiko neraca:
-Non-PLS yang dijamin oleh
agunan memiliki bobot risiko
yang paling rendah (50%)
-Mudharabah, musyarakah,
Non-PLS yang tidak dijamin
agunan memiliki bobot risiko
tertinggi. (100%)
Bobot risiko neraca:
-untuk kas, emas, dan “high
quality liquid assets”
dihitung 0
-dibedakan perhitungan bobot
risiko antara aset PLS dan
non-PLS.
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
8
Kualitas
Aktiva
Produktif
Diklasifikasikan dengan
kriteria: Lancar, Dalam
Perhatian Khusus, Kurang
Lancar, Diragukan, dan Macet
-PLS atau mudharabah tidak
dapat diklasifikasikan sebagai
non performing sebelum
dinyatakan “default”.
-PLS yang menghasilkan bagi
hasil yang menurun atau tidak
memberikan bagi hasil sebelum
kontrak berakhir
diklasifikasikan sebagai
mendapat perhatian khusus
atau kurang lancar.
-PLS: klasifikasi dilakukan
berdasarkan kinerja bagi hasil
dengan memperhatikan faktor
determinan: menurun tapi
masih positif dan belum jatuh
waktu, tidak memberikan
bagi hasil tapi belum jatuh
waktu, telah jatih waktu dan
rugi, serta belum jatuh waktu
dan mengalami rugi karena
kelalaian atau
penyelewengan.
-Non-PLS diklasifikasikan
dengan
memperhatikan/mengacu
pedoman konvensional,
mengingat terdapat kesamaan
karakteristik angsuran,
namun dilakukan
penyesuaian dengan
mempertimbangkan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip
syariah.
Manajemen Penilaian kinerja manajemen
umum dan manajemen risiko
berdasarkan pada daftar 100
pertanyaan
Penilaian atas faktor:
-kompetensi teknis,
kepemimpinan, kemampuan
administratif.
-kepatuhan terhadap ketentuan
perbankan.
-kemampuan untuk
merencanakan dan menghadapi
perubahan.
-kecukupan dan kepatuhan
terhadap kebijakan internal.
-suksesi, dan kemandirian
-kemauan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat
Penilaian kinerja manajemen
umum dan manajemen risiko
merupakan faktor pokok
dengan penekanan pada:
-kemampuan SDM dalam
pengelolaan bank syariah
sebagai lembaga bisnis.
-integritas dan kepatuhan
terhadap prinsip syariah.
Rentabilitas Penilaian atas dari kinerja
rentabilitas yang dihitung
rasio ROA, ROE dan BOPO
Penilaian atas faktor:
-kemampuan untuk menutup
kerugian dan menyediakan
kecukupan modal
-trend rentabilitas
-perbandingan peer group
-kualitas dan komposisi
pendapatan bersih
Penilaian dapat difokuskan
pada kinerja atas perhitungan
rasio ROA, ROE, dan BOPO
dan trend rentabilitas untuk
mengevaluasi kemajuan
usaha bank.
Likuiditas Penilaian atas kemampuan
likuiditas yang dihitung dari
rasio likuiditas dan Interbank
Call Money
Penilaian atas faktor:
-tingkat volatilitas waktu
simpanan
-ketergantungan pada dana
yang sensitif terhadap suku
bunga
-kemampuan teknis
pengelolaan kewajiban
-tersedianya aset yang likuid
-akses pada pasar uang antar
bank termasuk ke bank sentral
Rasio likuiditas dengan
memasukkan faktor maturitas
sebagai faktor yang penting
terutama kemampuan bank
dalam akses terhadap pasar
uang antar bank termasuk
LOLR
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
9
(LOLR).
Namun demikian dari hipotesa di atas masih merupakan bentuk kajian yang sangat analog
dengan asumsi memperbandingkan dua mekanisme yang secara teknis setara. Sebelumnya perlu
kita sadari terlebih dahulu, bahwa sebagaimana pada umumnya pembentukan suatu sistem baru,
maka sistem perbankan syariah dewasa ini berada pada tahap pembentukan. Pada tahap
pembentukan ini maka diperlukan suatu perlakuan edukasi dan tahapan agar embriyo dari sistem
baru tersebut dapat bertahan hidup dan berkembang. Dengan demikian apabila pada tahap
pertumbuhan perbankan syariah sudah harus menjalani persyaratan yang ketat yang diperlakukan
kepada sistem perbankan yang sudah mapan seperti pada bank konvensional, maka dengan
kondisi sumber daya yang dewasa ini belum memadai, tanpa adanya jaringan kantor yang cukup,
serta tanpa didukung oleh lingkungan yang kondusif, dapat terjadi pertumbuhan sistem
perbankan syariah akan mengalami pertumbuhan yang prematur dan mengecewakan. Hal ini
membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa pengembangan sistem perbankan syariah
memerlukan suatu perlakuan yang konstruktif dari pemerintah atau otoritas moneter tanpa
mengakibatkan timbulnya moral hazard dari dukungan atau perlakuan tersebut.
Selanjutnya berdasarkan sifat pengelolaan simpanan atau investasi dana masyarakat
pada bank syariah yang bersifat “un-guaranteed” kecuali simpanan giro wadiah, maka dari
analisa risiko dapat kita terima argumen bahwa simpanan atau investasi pada bank syariah
memiliki “risiko” yang lebih tinggi. Risiko disini dalam tanda kutip karena sebenarnya posisi
risiko yang diartikan dalam bank syariah adalah risiko investasi dalam hubungan yang murni
investor dengan investor, tidak dalam arti penjaminan pembayaran simpanan pada bank
konvensional yang secara esensial bertentangan dengan prinsip investasi yang mendudukan bank
dengan deposan atau investor dalam posisi yang berimbang dalam mendapatkan keuntungan dan
memikul risiko kerugian. Dalam kondisi masyarakat yang sangat heterogen baik motivasi
maupun integritasnya maka pengawasan perbankan syariah memerlukan suatu mekanisme
perlindungan yang bersifat ekstra dalam upaya melindungi sistem bank syariah yang sarat
dengan nuansa kepercayaan dan moralitas. Mekanisme pengamanan yang diperlukan terutama
dari segi perlindungan hukum dan bumper investasi. Perlindungan hukum berupa pengaturan dan
penegakan hukum yang keras terhadap pihak-pihak manajemen atau nasabah yang melakukan
pembobolan atau kejahatan keuangan pada bank syariah, sedangkan bumper investasi berupa
penerapan sistem agunan yang dapat menghindarkan itikad buruk para investor yang menerima
pembiayaan bank.
D. Sumber Daya Manusia Perbankan Syariah; Kenyataan dan Harapan
Dewasa ini di Indonesia bahkan ditingkat global dirasakan masih langka bankir yang
memiliki keahlian operasional bank syariah. Bahkan para bankir yang telah mengikuti berbagai
kursus dan pelatihan dalam prakteknya masih merasakan keterbatasan pengetahuannya tentang
aplikasi model-model penghimpunan dana, pembiayaan dan jasa dari bank syariah. Adanya
kelangkaan ini merupakan hasil dari masih sangat terbatasnya universitas atau lembaga
pendidikan tinggi di negara kita yang menyediakan kurikulum ekonomi dan perbankan syariah,
terlebih untuk mencari lembaga pendidikan tinggi yang memiliki Islamic economic research
centre masih jauh dari harapan.
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
10
Perbankan syariah menuju abad mendatang harus memiliki sumber daya manusia yang
berdaya saing dan handal. Bank syariah memerlukan SDM yang memiliki dua sisi kemampuan
yaitu ketrampilan pengelolaan operasional (profesionalism) dan pengetahuan syariah termasuk
akhlak atau moral dengan integritas yang tinggi. Penjabaran lebih lanjut dari SDM bank syariah
adalah memenuhi persyaratan STAF kependekan dari shidiq (jujur), tabligh (membawa dan
menyebarluaskan kebaikan), amanah (dapat dipercaya), dan fathonah (pandai, memiliki
kemampuan). Bagi otoritas pengawasan persyaratan SDM bank syariah yang STAF ini
merupakan suatu hal yang mutlak dan tidak ada kompromi. Persyaratan STAF ini harus secara
eksplisit dan implisit ditetapkan dalam berbagai ketentuan dan petunjuk otoritas pengawas. Bagi
pengurus bank yang tidak memiliki salah satu dari persyaratan tersebut tidak dapat duduk dalam
kepengurusan, bahkan sebagai komisaris sekalipun.
Mengingat fungsi bank syariah yang sarat dengan nuansa kepercayaan dan moral, maka
bahaya potensial yang dihadapi oleh para pengurus bank adalah adanya moral hazard yang
berkaitan erat dengan sifat bagi hasil dalam kegiatan usaha bank. Moral hazard ini bukan hanya
bersumber dari para nasabah melainkan juga dari para pihak yang berkepentingan yang berupaya
mempengaruhi manajemen bank. Independensi bukan hanya milik otoritas moneter atau
pengawasan, tetapi juga mutlak dimiliki oleh para pengurus bank syariah. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka dalam membangun SDM perbankan syariah maka seharusnya pendidikan dan
pelatihan merupakan pos prioritas dalam anggaran bank syariah. Supaya anggaran pendidikan
dan pelatihan tersebut menjadi investasi yang berharga bagi bank syariah maka dalam program
jangka pendek strategi integrasi antara pemilihan jenis pendidikan atau pelatihan, serta pegawai
atau pejabat peserta pelatihan yang memiliki komitmen, merupakan penunjang utama
keberhasilan. Dalam jangka panjang pendidikan atau pelatihan bagi seluruh jenjang manajemen
dan pegawai sebaiknya dilakukan secara bertahap sesuai dengan prioritas yang lebih bertujuan
untuk meningkatkan pemahaman mengenai . Komitmen bagi pegawai untuk menerapkan prinsip
syariah secara konsisten
E. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia dan Perkembangan di Negara Lain;
Suatu Pelajaran
Dewasa ini terdapat 1 bank umum dan 78 BPR berdasarkan prinsip syariah di seluruh
wilayah Indonesia. Perkembangan perbankan syariah ini dibandingkan dengan total volume
usaha dan jumlah perbankan nasional secara keseluruhan relatif masih sangat kecil yaitu
dibawah 1%, sehingga peranannya terhadap ekonomi makro belum signifikan, serta secara
jaringan kantor belum memenuhi kebutuhan akses masyarakat yang tersebar luas diseluruh
penjuru Indonesia. Ukuran volume usaha dan jaringan kantor yang sangat kecil tersebut
merupakan salah satu kendala utama dalam pengembangan perbankan syariah sebagaimana telah
diindikasikan oleh M.Umer Chapra (1998) sehingga mempengaruhi kemampuan bank untuk
melakukan pelatihan yang memadai, penelitian pasar, pengembangan produk, dan
pengembangan teknologi. Selain itu bagi para akademisi maupun praktisi perkembangan yang
kecil tersebut mempengaruhi minat penelitian, yang terbukti dengan masih sangat terbatasnya
literatur maupun keterlibatan para pakar dalam pengembangan perbankan syariah. Namun
demikian kondisi perbankan syariah demikian justru bagi peneliti Rodney Wilson (1996)
merupakan prospek yang cerah bagi masa yang akan datang karena hanya sebagian kecil potensi
pasar yang telah digali, sehingga masih sangat luas potensi yang tersedia bagi pertumbuhan
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
11
bank syariah. Demikian pula dengan potensi di Indonesia melihat jumlah penduduk muslim
yang sangat besar maka sangat terbuka bagi pengembangan bank syariah sebagai suatu sistem
lembaga intermediasi keuangan yang sesuai dengan keyakinan umat Islam dan bagi siapapun
non-Islam yang tertarik atau berminat untuk mengikuti sistem tersebut sebagai suatu mekanisme
pelayanan jasa keuangan yang bersifat universal. Masih belum berkembangnya perbankan
syariah memerlukan upaya yang luas dan menyeluruh yang meliputi perangkat hukum,
mekanisme pengaturan sistem jaringan kantor, dukungan piranti moneter dan pasar uang, serta
upaya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai kegiatan usaha bank syariah
(socialization).
Sebelum pembahasan lebih lanjut akan sangat bermanfaat apabila kita melihat
perkembangan secara umum bank syariah di negara-negara lain seperti di Pakistan dan Iran
sebagai bahan pelajaran dalam membangun sistem perbankan syariah di Indonesia. Pakistan dan
Iran adalah dua negara yang telah menerapkan full Islamic Banking yang agak berbeda dengan
negara kita dengan penerapan dual banking system namun demikian sebagai bahan
perbandingan, kedua negara tersebut sangat menarik untuk dipelajari. M.Umer Chapra (1998)
menyatakan bahwa beberapa variabel perbankan seperti pertumbuhan simpanan, modal, tingkat
keuntungan dan rasio perbankan lainnya merupakan indikasi yang tidak diragukan lagi dalam
mengukur keberhasilan perbankan syariah di beberapa negara. Namun demikian ukuran-ukuran
keberhasilan tersebut tidak akan memberikan informasi yang penting sebelum kita memahami
faktor-faktor lain yang berkontribusi dalam perkembangan perbankan syariah tersebut seperti
faktor stabilitas politik, infrastruktur perekonomian dan sosial, pertumbuhan perekonomian,
aliran modal masuk, dan kualitas manajemen bank-bank syariah. Secara garis besar dapat
digambarkan perkembangan dinegara-negara lain sebagai berikut:
PAKISTAN
Tabel 7
FAKTOR PERKEMBANGAN/KETERANGAN
Latar belakang pengembangan ?? dibuka kesempatan oleh Presiden Ziaul Haq pada tahun
1979, yang semata-mata “political reasons” dalam rangka
meraih dukungan rakyat.
Kondisi perekonomian, sosial, dan
perbankan s.d. 1979
?? sistem perbankan penuh dengan korupsi dan kolusi.
?? penyaluran kredit dipengaruhi golongan pengusaha besar
dan memiliki keterkaitan dengan penguasa.
?? empat bank terbesar (National, Muslim Commercial, Habib,
dan United) memiliki rating terendah E+ Moodys.
?? kredit non lancar sebesar 240% dari modal perbankan.
?? secara teknis sistem perbankan “bankrupt”
?? GDP (tingkat harga 1990) rata-rata 4,0%
?? Defisit Anggaran rata-rata 6,5%
?? Hutang luar negeri 9,9 milliar USD, 42,4% (% GDP)
?? rasio debt-service 18,3
Kondisi perekonomian, sosial, dan
perbankan 1980 s.d. 1996
?? praktek-praktek korupsi dan kolusi masih berlangsung
?? pertumbuhan GDP (tingkat harga 1990) rata-rata 5,7%
?? defisit anggaran rata-rata 6,8%
?? hutang luar negeri 29,9 milliar USD, 46,3% (% GDP)
?? rasio debt-service 27,4
Perkembangan penerapan sistem perbankan
syariah
Secara keseluruhan dapat dianggap kurang berhasil karena:
?? Pemerintah tidak melakukan upaya yang sungguh-sungguh
dalam memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme.
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
12
?? tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk memulihkan
kondisi kesehatan perbankan dan integritas manajemen
perbankan.
?? tidak ada dukungan dari perangkat hukum yang memadai.
?? kurangnya dukungan dari pejabat pemerintah, bank sentral,
bahkan penolakan (resistance) dari para birokrat terhadap
penerapan sistem perbankan syariah.
I R A N
Tabel 8
FAKTOR PERKEMBANGAN/KETERANGAN
Latar belakang pengembangan ?? dimulai sejak timbulnya revolusi Iran tahun 1979 dan
ditetapkan pada tahun 1984.
Kondisi perekonomian, sosial dan
perbankan s.d. 1988
?? nasionalisasi bank-bank komersial sejak Juni 1979.
?? penegakan hukum (law enforcement) yang baik
?? kondisi perekonomian yang memburuk sejak perang dengan
Irak 1980, berakhirnya oil boom 1982, penerapan sanksi
ekonomi oleh Amerika Serikat, pembekuan aset di luar
negeri, tingkat inflasi yang tinggi, serta pelarian modal ke
luar negeri.
?? pertumbuhan GDP (harga 1990) rata-rata -9,8%
?? defisit anggaran (% dari GDP) rata-rata -9,2%
?? hutang luar negeri 5,8 milliar USD
Kondisi perekonomian, sosial dan
perbankan 1988 s.d. 1997
?? pertumbuhan GDP (harga 1990) rata-rata 5,5%
?? defisit anggaran (% dari GDP) rata-rata 1,1%
?? hutang luar negeri 21,2 milliar USD
Perkembangan penerapan sistem perbankan
syariah
Secara keseluruhan dapat dianggap cukup berhasil karena:
?? pemerintah memiliki upaya yang sungguh-sungguh dalam
menerapkan program perbankan syariah dan penegakan
hukum.
?? upaya yang sungguh-sungguh untuk memulihkan kondisi
kesehatan perbankan dan integritas manajemen perbankan
?? dukungan dari perangkat hukum yang memadai
?? dukungan dari pejabat pemerintah, bank sentral, dan para
birokrat terhadap penerapan sistem perbankan syariah
MALAYSIA
Tabel 9
FAKTOR PERKEMBANGAN/KETERANGAN
Latar belakang pengembangan ?? penerapan dual banking sistem dimulai sejak tahun
1983 dengan ditetapkannya Undang-undang Bank
Islam tahun 1983.
Kondisi perekonomian, sosial dan perbankan 1994 s.d.
1996
?? GDP (harga tetap 1978) rata-rata RM 130 milliar
?? Pertumbuhan real GDP rata-rata 5,3%
?? GNP RM 237 milliar
?? Cadangan bersih Bank Negara RM 70 milliar
?? Inflasi (harga tetap 1994) rata-rata 3,5%
?? Simpanan pd perbankan RM 75,4 milliar
?? Kredit oleh perbankan RM 72 milliar
?? Loan to deposit rasio 95,4%
Perkembangan penerapan dual banking system dengan Secara keseluruhan berhasil dengan baik dengan faktor
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
13
catatan masih perlu dikaji lebih lanjut mengingat saat ini
peranan bank syariah hanya 3 % dari total volume usaha
perbankan.
pendukung:
?? Adanya undang-undang Bank Islam tersendiri
?? Pengaturan kelembagaan dan piranti yang lengkap
(Islamic securitisation, islamic interbank money
market, banking infrastruktur, sumber daya
manusia)
?? Penegakan hukum yang baik(law enforcement).
?? Pemahaman masyarakat terhadap operasi bank
syariah
Dari pengalaman di Pakistan dan Iran, maka dapat kita petik pelajaran bahwa penerapan
sistem perbankan syariah memerlukan pra kondisi terutama harus mempersiapkan lingkungan
perbankan dan aparat birokrat yang bersih dari praktek-praktek korupsi dan kolusi, serta
komitmen yang tinggi dari pemerintah dan manajemen bank untuk mengembangkan bank
syariah. Suatu hal menarik adalah terdapat suatu fakta bahwa walaupun dewasa ini pusat
perbankan syariah yang dianggap maju adalah Malaysia, Bahrain, dan Inggris karena didukung
oleh landasan ekonomi yang baik serta SDM yang memadai, namun demikian Iran telah
menunjukkan kekecualian dengan keberhasilan perbankan syariahnya.
F. Kesiapan Perbankan Syariah Menuju Millenium; Optimisme, Tantangan dan Harapan
Menghadapi millenium baru maka perbankan syariah Indonesia yang berada dalam tahap
awal pertumbuhan, masih memiliki kesempatan dan waktu yang cukup untuk melakukan
persiapan dalam rangka mewujudkan perbankan syariah yang sehat. Dengan diberlakukannya
Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan serta Undang-Undang No.23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia maka secara legitimasi memiliki landasan hukum yang kuat bagi
pembangunan perbankan syariah di Indonesia. Namun demikian dari segi penerapan kebijakan
maka melihat pengalaman negara lain, pembangunan perbankan syariah akan kurang berhasil
bahkan mengalami kegagalan selama program pembangunan dihantarkan oleh pemerintah atas
dasar alasan politis “political reason” atau dibangun dalam kondisi perbankan yang penuh
dengan praktek-praktek korupsi, kolusi, atau nepotisme. Strategi pengawasan yang diterapkan
banyak mendapatkan masukan-masukan yang sangat berharga dari konsep dasar pengawasan
kegiatan usaha bank yang berdasarkan kehatian-hatian dari Basle Settlement. Namun demikian
konsep penerapannya perlu kita cermati lebih lanjut dengan memperhatikan sifat dan mekanisme
kegiatan usaha bank syariah yang secara prinsipil berbeda dengan bank konvensional. Penerapan
prinsip kehati-hatian tersebut memiliki kompleksitas yang tinggi, terlebih dihubungkan dengan
belum adanya standardisasi fatwa produk-produk bank syariah baik secara nasional maupun
internasional. Penerapan prinsip kehati-hatian akan lebih mudah apabila penerapan dikaitkan
dengan karakteristik perbankan syariah yang ada di setiap negara, yang sangat tergantung dari
mazhab yang dianut. Standarisasi prinsip syariah sebagai landasan kegiatan usaha bank menjadi
sangat penting karena disamping akan memudahkan pengawasan oleh otoritas dan dewan
syariah, juga merupakan suatu manfaat yang sangat besar bagi kepastian hukum para pihak
(nasabah, bankir, manajemen, dan penegak hukum atau pengadilan) yang melakukan transaksi
dengan bank syariah. Upaya yang penting lainnya adalah berupaya mengadopsi standar-standar
internasional perbankan syariah yang telah terbentuk seperti standar akunting dan auditing dari
AAOIFI Bahrain, yang selain akan meningkatkan kualitas dan memperjelas standar laporan
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
14
keuangan perbankan syariah nasional kepada otoritas dan publik, juga akan memudahkan
perbankan syariah nasional dalam transaksi global.
Dari segi eksternal strategi pengembangan perbankan syariah masih memerlukan langkah
prioritas berupa perluasan jaringan kantor yang memadai sehingga mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat yang menyebar baik diperkotaan maupun pedesaan. Perluasan jaringan ini harus
didukung dengan upaya meningkatkan pemahaman mengenai kegiatan usaha bank syariah yang
menjadi tugas pemerintah dan kegiatan promosi bank yang bersangkutan. Kegiatan sosialisasi
yang dilakukan oleh Bank Indonesia merupakan faktor pendorong yang cukup menetukan dalam
upaya peningkatan pemahaman masyarakat mengenai kegiatan usaha bank syariah, namun
demikian upaya ini tidak akan optimal tanpa dilandasi komitmen yang kuat termasuk dari para
birokrat terkait. Kebijakan yang besifat penetratif seperti dalam bentuk kewajiban menyediakan
persentase tertentu dari kantor cabang bank umum menjadi kantor bank syariah dalam yurisdiksi
Indonesia, akan dapat meningkatkan jaringan kantor secara ekspansif dan cepat, namun demikian
kebijakan ini memerlukan pemikiran yang cukup berhati-hati mengingat upaya mendorong
perbankan syariah ini sebaiknya mengacu kepada market demand sehingga dapat terhindar dari
obyek rekayasa atau formalitas manajemen bank .
Dari segi internal perbankan syariah dengan sedikit mengutip dari hasil Islamic Financial
Institutions Forum di Bahrain tahun 1998, menurut pendapat penulis terdapat beberapa faktor
kunci sebagai persiapan perbankan syariah menuju abad mendatang agar dapat hadir pada
perbankan modern dan memiliki daya saing yang handal. Sumber daya manusia (SDM)
merupakan faktor penentu dalam membangun bank syariah yang solid dan profesional. Bank
syariah memerlukan SDM yang memiliki dua sisi kemampuan yaitu ketrampilan pengelolaan
operasional (profesionalism) dan pengetahuan syariah yang dilengkapi dengan akhlak dan
integritas yang tinggi. Faktor kedua adalah kemampuan bank dalam menyediakan produk dan
jasa bank yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian akan berkaitan erat
dengan kemampuan dalam pengembangan produk yang kompetitif dan melayani segmen
nasabah potensial. Pengembangan produk bank akan berperan kuat SDM bank, institusi
pengawas produk dan jasa bank yaitu dewan pengawas syariah dan dewan syariah nasional.
Namun demikian keahlian dan pengetahuan SDM bank akan menjadi pemain utama yang
menentukan. Faktor ketiga adalah pengembangan teknologi bank termasuk teknologi sistem
informasi. Teknologi sistem informasi yang tepat guna akan menjadikan bank beroperasi lebih
efisien. Di beberapa negara kaya minyak di timur tengah (Bahrain, Arab Saudi, Kuwait, Qatar,
UAE) kecanggihan teknologi informasi bank syariah sangat menonjol, sehingga mampu
menyediakan data dan pelayanan jasa kepada masyarakat melalui produk-produk bank yang
modern seperti phone banking, smart card, financing/investment products, dll. Faktor-faktor
tersebut merupakan penentu keberhasilan yang bersifat mendasar, tentunya masih banyak faktor
lain yang juga turut menentukan keberhasilan bank syariah dengan memperhatikan kondisi
lingkungan bisnis, geografis, sektor industri yang potensil, serta heterogenitas budaya
masyarakat di suatu daerah atau negara yang tentunya berbeda. Namun demikian kita semua
patut bersyukur dengan perkembangan perbankan syariah yang mulai menunjukkan
eksistensinya sebagai suatu sistem perbankan yang memiliki manfaat dalam perekonomian umat
muslim khususnya serta bagi anggota masyarakat non-muslim lainnya sebagai rahmat bagi
seluruh umat manusia menjelang millenium baru, suatu tantangan pengembangan dan juga suatu
harapan bagi kemajuan perekonomian.
___________________________________________________________________
Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan
Prospek
15
---ddd----
Refensi buku/makalah:
1. M. Umer Chapra, Islamic Banking: The Dream and The Reality, A paper prepared for
presentation at the second annual Harvard University Forum, 1998.
2. Iqbal, Zubair, and Mirakhor, Islamic Banking (Washington DC, IMF, Occasional Paper
No.49, 1987).
3. Mirakhor, Abbas, The Progress of Islamic Banking: the Case of Iran and Pakistan, 1988.
4. Wilson, Rodney, Islamic Financial Markets (London: Routledge, 1990)
5. Working Paper IMF, Islamic Banking: Issues in Prudential Regulation and Supervision,
Maret 1998.
6. Bank Indonesia, Buku Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Juni 1999.
Dhani Gunawan
Peneliti Bank
Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah
Direktorat Penelirian dan Pengaturan Perbankan
NIP.11188

ZAKAT DAN POLA KONSUMSI YANG ISLAMI


Oleh : Mulya E. Siregar
• Penulis adalah Peneliti Bank Senior, Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah, Biro Penelitian
Perbankan, Bank Indonesia, namun pendapat penulis dalam makalah ini bukan mencerminkan pendapat
lembaga tempat beliau bekerja.
Email: mulya7@yahoo.com atau msiregar@bi.go.id
Salah satu pernyataan mantan presiden dalam pembukaan Musyawarah Kerja Nasional
I Lembaga Pengelolaan ZIS-Forum Zakat pada bulan Januari tahun silam adalah:
“Lembaga-lembaga itu masih perlu berusaha untuk menyadarkan umat Islam tentang
kewajibannya menunaikan zakat serta memberikan infak dan sedekah.” Sejalan dengan
pernyataan tersebut memang harus diakui bahwa sebagian besar umat cenderung hanya
bersedia mengeluarkan zakat fitrah, infak dan sadakah, sedangkan kesadaran untuk
mengeluarkan zakat mal belum membudaya bagi masyarakat di Indonesia. Keadaan ini
terjadi diduga karena pola konsumsi umat di Indonesia belum Islami. Pola konsumsi
masih menggunakan pola yang dikembangkan oleh Pareto bahwa manusia dalam
memaksimisasikan konsumsinya hanya berdasarkan kepentingan dunia tanpa
mempertimbangkan kepentingan akhirat. Sejanjutnya mantan presiden berpendapat
perlu dikaji kemungkinan dana zakat untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS). Masalahnya
dana zakat akan disalurkan pada program JPS yang mana, apakah pada program yang
memberi “kail” atau” ikan.”?
I. Pendahuluan
Setiap kali kali memasuki bulan Ramadhan yang suci, umat diingatkan kembali
akan tiga kewajiban yang tercantum dalam rukun Islam yang lima. Pada bulan Ramadhan,
umumnya ibadah sholat akan meningkat, dan umat menjalankan ibadah puasa yang
diperuntukkan bagi Allah SWT. Selanjutnya pada bulan Ramadhan, umat diingatkan akan
kewajiban mengeluarkan zakat fitrah / mal yang biasanya dilaksanakan setiap tahun pada
bulan Ramadhan yang penuh rahmah dan maghfirah.
Sangat disayangkan, kesediaan umat Islam mengeluarkan zakat umumnya masih
terbatas pada zakat fitrah, karena sebagian umat masih enggan untuk menyisihkan harta
yang bukan haknya. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa zakat mal identik
dengan pajak, sehingga kalau sudah bayar pajak, apa perlunya kita harus mengeluarkan
zakat. Pendapat lain menyatakan bahwa ada keengganan mengeluarkan zakat karena akan
memberatkan/membebani keuangan rumah-tangga, apalagi dalam keadaan krisis moneter
seperti yang terjadi saat ini. Zakat mal masih dilihat sebagai sebuah beban atau bahkan
sebagai pengeluaran yang sia-sia, bukan sebagai suatu pengeluaran konsumsi yang akan
memberikan kepuasan atau utilities.
Pada kesempatan ini, penulis mencoba membahas zakat mal dan hubungannya
dengan pola konsumsi yang Islami guna memperjelas kedudukan zakat dalam rumah2
tangga Muslim. Diharapkan melalui makalah ini, kita semua dapat menyadari bahwa
zakat bukanlah sebagai sebuah beban, melainkan sebagai sebuah pengeluaran konsumsi
yang dapat memberikan kepuasan, sehingga masyarakat Muslim akan lebih bijaksana
dalam meng-alokasikan anggaran rumah-tangganya, khususnya pada masa krisis sekarang
ini. Makalah ini diawali dengan pembahasan mengenai pengertian zakat pada bagian
kedua dan dilanjuti dengan pembahasan mengenai kedudukan rumah tangga sebagai unit
konsumer pada bagian ketiga. Selanjutnya, bagian keempat membahas pola konsumsi
yang Islami dan diakhiri dengan kesimpulan dan saran pada bagian kelima.
II. Pengertian Zakat
Zakat seperti tertulis dalam surat At Taubah ayat 103 mengandung pengertian
bahwa setiap Muslim yang mempunyai harta benda yang telah cukup nisab wajib
membersihkan harta bendanya dengan memberikan sebahagian hartanya kepada orangorang
yang berhak. Berdasarkan surat At Taubah ayat 60 ada delapan golongan umat
yang berhak menerima zakat, yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, rikab, ghorimin (orang
yang berhutang), fii sabilillah (orang yang berjuang karena Allah) dan ibni sabil (orang
yang dalam perantauan). Menurut Al-Shawkani (Saud, 1976) zakat secara linguistic
memiliki makna ganda yaitu pertumbuhan (growth) dan juga pembersihan
(purification). Makna yang pertama mengandung pengertian bahwa zakat akan
membawa pertumbuhan kekayaan (wealth) dan juga membawa pahala (reward) bagi
yang melakukannya. Secara singkat zakat tidak akan menurunkan kekayaan, sedangkan
makna yang kedua, zakat akan membersihkan jiwa manusia dari keinginan memiliki
kekayaan yang berlebihan.
Saud (1976) berpendapat bahwa zakat dikenakan pada semua kekayaan yang
memiliki nilai (market value). Menurut Saud fungsi zakat adalah satu cara untuk
mencegah penimbunan (hoarding) harta yang dapat mengakibatkan adanya idle
wealth. Sehingga dianjurkan untuk menempatkan resources-nya dalam bentuk aset
yang produktif yaitu dana yang ditempatkan di bank atau institusi yang dikontrol
pemerintah. Bila rumah-tangga melaksanakan hal ini, maka yang bersangkutan
dibebaskan dari zakat, karena resources yang dimiliki berputar terus di dalam
perekonomian yang dapat memberi manfaat bagi produser maupun konsumer.
Sedangkan Kahf (1976) dan Faridi (1976) berpendapat bahwa yang dikenakan
zakat adalah harta bersih atau networth atau harta setelah dikurangi kewajiban (aset
setelah dikurangi liabilities). Pada dasarnya Kahf dan Faridi melihat fungsi zakat sama
dengan yang diajukan oleh Saud, zakat diharapkan akan meningkatkan investasi atau
financial resourses / assets atau harta yang produktif. Bila seseorang menabung dalam
bentuk perhiasan / precious metal, tabungan ini tidak produktif, maka zakat secara berangsur-
angsur akan mengurangi net saving atau networth yang bersangkutan. Sehingga
zakat akan men-discourage seseorang untuk menimbun harta yang tidak produktif,
namun akan merangsang orang untuk memutarkan hartanya pada kegiatan produktif atau
menabung dalam bentuk harta yang produktif. Sehingga zakat akan merangsang orang
untuk giat bekerja, karena kalau tidak, lambat laun networthnya akan mengecil karena
dipergunakan untuk membayar zakat. Dengan giat bekerja dan mengkonsumsi secara
bijaksana akan menghasilkan pertumbuhan networth, sejalan dengan pendapat Al-
Shawkani bahwa zakat dapat memiliki arti pertumbuhan.
3
Dengan mempertimbangkan pendapat-pendapat tersebut dan dengan
perkembangan personal finance masyarakat di dunia barat maupun Islam yang
umumnya memiliki aset maupun liabilities secara bersamaan, maka tulisan ini akan
menggunakan pengertian bahwa zakat mal yang harus dikeluarkan berdasarkan networth
yang telah melampaui nisabnya. Selain dari pada itu networth lebih mencerminkan
tingkat kekayaan sebuah rumah tangga, dibandingkan bila tingkat kekayaan diukur
hanya dengan aset.
III. Kedudukan Rumah-tangga Sebagai Unit Konsumer
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh umat Islam
bila yang bersangkutan telah mampu melaksanakannya. Zakat adalah bagian dari
resources yang dimiliki oleh sebuah rumah-tangga (household) yang harus disisihkan
untuk kepentingan umat khususnya delapan golongan umat yang berhak menerimanya.
Dalam makalah ini, rumah-tangga meliputi single household, janda/duda dengan anak
dan married couple (dengan ataupun tanpa anak). Rumah-tangga merupakan salah satu
subyek ekonomi yang bersama-sama dengan pemerintah dan business sector (perusahaanperusahaan)
berperan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Setiap subyek
memiliki tujuan masing-masing, pemerintah bertujuan untuk memaksimisasikan wealth
of society, sedangkan perusahaan bertujuan untuk memaksimisasikan keuntungan dan
dilain pihak rumah-tangga memiliki tujuan memaksimisasikan utility atau satisfaction.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing subyek dalam mencapai tujuantujuan
tersebut dapat saling bertentangan sehingga kemaslahatan umat sulit untuk dicapai.
Sampai dengan periode pertengahan tahun 1960, sebuah rumah-tangga
cenderung dipandang hanya sebagai consumer unit. Pada pertengahan 1960 an
lahirnya theory of allocation of time yang diajukan oleh Gary Becker dari University of
Chicago menyadarkan masyarakat bahwa rumah-tangga tidak hanya sekedar consumer
unit tapi juga menjadi producer unit karena allocation of time yang dilakukan oleh
anggota rumah-tangga untuk bekerja di dalam maupun diluar rumah-tangga merupakan
production activities. Pekerjaan rumah-tangga atau household activities merupakan
kegiatan produksi didalam rumah tangga yang dapat mendatangkan penghematan
maupun earning, sedangkan pekerjaan diluar rumah-tangga merupakan kegiatan produksi
di labor market yang mendatangkan earning.
Pembahasan zakat dari sisi ekonomi rumah-tangga Muslim dalam makalah ini
hanya ditinjau dari sisi consumer unit atau unit konsumer dan makalah ini mencoba
membahas bagaimana sebuah rumah-tangga harus berprilaku dalam mencapai
kemaslahatan umat. Intinya adalah bagaimanakah sebuah rumah-tangga Muslim bertindak
memaksimisasikan utility-nya sebagai sebuah consumer unit dan pada saat yang
bersamaan memenuhi kewajibannya sebagai umat Islam untuk menyisihkan resources
yang dimiliki untuk kepentingan zakat.
IV. Pola Konsumsi Yang Islami
Dengan memperhatikan keterbatasan sumber pembiayaan, sebuah rumah-tangga
dalam memenuhi kebutuhannya dihadapkan dengan berbagai pilihan. Pilihan-pilihan ini
dapat berupa kombinasi tingkat konsumsi antara barang pertanian dan industri, atau
4
antara konsumsi saat ini dan saat mendatang. Kombinasi dari dua macam barang
(termasuk jasa) yang memberikan tingkat kepuasan yang sama digambarkan oleh Pareto
dalam kurva indiferensi (indifference curve), yaitu kurva yang berbentuk garis lengkung
yang mewakili kombinasi dari dua macam barang. Sedangkan keterbatasan sumber
pembiayaan diwakili oleh keterbatasan pendapatan digambarkan dalam garis anggaran
(budget line). Oleh karena itu pencapaian maksimum utility/kepuasan dari sebuah rumahtangga
tergantung bagaimana sebuah rumah-tangga menentukan pilihannya dengan
memperhatikan anggaran yang dimilikinya. Menurut Pareto, kepuasan maksimum akan
dicapai pada saat garis anggaran (A) bersinggungan dengan kurva indiferensi (I), dalam
hal ini pada titik E (Gambar: Kurva Indiferensi dan Garis Anggaran). Area dibawah garis
anggaran adalah feasible area atau area yang mewakili kombinasi-kombinasi kedua
barang yang dapat dicapai oleh sebuah rumah-tangga.
Dengan menggunakan kurva indiferensi yang dikembangkan oleh Pareto sebuah
rumah-tangga memenuhi kebutuhan akan barang-1 dan barang-2 dengan memperhatikan
anggaran yang dimilikinya. Berdasarkan Pareto, barang-1 dan barang-2 merupakan
barang-barang yang dibutuhkan oleh rumah-tangga saat ini pada waktu mereka hidup di
dunia fana tanpa mempertimbangkan kehidupan setelah mati (the hereafter). Sedangkan
bagi rumah-tangga Muslim, pencapaian maksimum utility, tidak hanya
mempertimbangkan barang-barang yang dikonsumsi saat ini dan langsung dirasakan saat
ini, namun juga mempertimbangkan konsumsi barang-barang saat ini yang dapat
dirasakan manfaatnya saat ini maupun dibelakang hari setelah mati. Oleh karena itu kurva
indiferensi dalam rumah-tangga Muslim merupakan kombinasi dari barang-1 (merupakan
barang-barang yang dikonsumsi saat ini dan manfaatnya dapat dirasakan sekarang
maupun dibelakang hari) dan barang-2 (merupakan barang yang dikonsumsi saat ini dan
juga dirasakan manfaatnya saat hidup di dunia ini). Dalam pembahasan ini pengertian
konsumsi tidak terbatas pada pengertian bahwa konsumsi sesuatu barang hanya untuk
kepentingan jangka pendek atau kenikmatan sesaat, namun konsumsi dalam makalah ini
juga dapat berarti investasi, yaitu kegiatan yang dapat membawa nilai tambah pada
kehidupan di dunia maupun di alam baqa.
Dalam melakukan kegiatan konsumsi sebuah rumah-tangga harus menentukan
skala prioritas berdasarkan jenis barang yang akan dikonsumsi. Al-Ghazali and Al-Shatibi
(Zarqa, 1976) berpendapat bahwa berdasarkan Al Qur’an dan Hadist ada tiga hierarkhi
kegiatan yang dilakukan umat Islam dalam mencapai utility yang diinginkan, yaitu
Necessities (kegiatan-kegiatan yang mengamankan berlangsungnya kegiatan keagamaan,
kehidupan, kebebasan berpikir, keturunan dan pencapaian kekayaan) Conveniences
(kegiatan-kegiatan yang memudahkan pelaksanaan kegiatan pertama) dan Refinements
(kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan asesori hidup). Dengan mengacu pada
penggolongan yang diajukan oleh kedua ulama tersebut, maka dalam tulisan ini jenis
barang-2 dibagi dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
21. Kebutuhan dasar atau basic needs / necessities yang menentukan kelangsungan hidup
manusia, seperti makanan, sandang dan perumahan.
22. Kebutuhan sekunder adalah barang-barang yang memudahkan kehidupan, tanpa
barang ini manusia masih dapat hidup, seperti pendidikan, mobil, komputer, dan lainlain.
5
23. Kebutuhan tertier adalah barang-barang yang merupakan asesori hidup seperti sound
system, compact disc dan lain-lain serta juga ketenteraman/kebahagiaan di hari tua.
Barang kebutuhan dasar (barang-21) merupakan sesuatu yang absolut dibutuhkan
oleh sebuah rumah-tangga, sedangkan penggolongan barang kebutuhan sekunder (barang-
22) dan kebutuhan tertier (barang-23) adalah relatif yang sangat tergantung dari
endowment yang dimiliki oleh sebuah rumah-tangga. Zarqa (1976) berpendapat bahwa
hidup ini adalah suatu ujian dimana kita umatnya dibekali (endowed) dengan berbagai
perbedaan seperti mental, physical ability, material, social environment, power,
knowledge, wealth dan lain-lain, sehingga setiap rumah-tangga berbeda dalam
menetapkan sebuah barang digolongkan pada barang-22 atau barang-23. Yang penting
adalah bagaimana sebuah rumah-tangga mempertanggung jawabkan endowment yang
dipinjamkan kepadanya pada hari pengadilan nanti.
Dalam mengkonsumsi ketiga jenis barang tersebut, sebuah rumah-tangga akan
mengikuti life-cycle hypothesis yang diajukan oleh Modigliani (Dornbusch and Fischer,
1984), bahwa sebuah rumah-tangga akan mengalokasikan anggarannya secara optimal
untuk konsumsi yang stabil (smooth consumption) selama hidup didunia ini. Sehingga
sebuah rumah-tangga dalam hal ini ayah dan atau ibu tidak akan mengalami kesulitan
konsumsi di hari tuanya. Dengan demikian sebuah rumah-tangga harus mengalokasikan
angggarannya tidak hanya untuk konsumsi saja, namun juga untuk tabungan atau saving.
Oleh karena itu sebuah rumah-tangga muda harus bersiap sejak dini untuk
mempersiapkan putera/puterinya menyongsong masa depan dan juga mempersiapkan hari
tua mereka sendiri. Maka pada awalnya, konsumsi sebuah rumah-tangga dititik beratkan
pada barang-21 disebabkan anggaran yang terbatas dari sebuah rumah-tangga muda
sehubungan dengan terbatasnya pendapatan yang diperoleh. Sebagai konsekwensi dari
terbatasnya pendapatan rumah-tangga muda, tingkat tabungan sebuah rumah-tangga
adalah rendah sehingga akumulasi aset tidaklah tinggi, yang berakibat rendahnya
networth.
Tingkat pendapatan awal sebuah rumah-tangga sangat ditentukan oleh alokasi
dana untuk investasi sumber daya manusia yang dilakukan oleh orangtuanya. Dalam hal
ini sampai seberapa jauh orangtua menanamkan dananya untuk kepentingan pendidikan
seorang anak. Sesuai dengan human capital investment theory, semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang akan memberikan tingkat pendapatan yang lebih baik pada
bidangnya. Investasi pada sumber-daya manusia tidak hanya dalam bentuk pendidikan,
namun juga dalam bentuk pengalaman kerja dan kesehatan. Dengan ketiga bentuk
investasi ini, diharapkan sebuah rumah-tangga dapat meningkatkan pendapatannya.
Selanjutnya dengan masa kerja/pengalaman, pendidikan tambahan selama bekerja dan
kondisi kesehatan yang terjaga akan memberikan kenaikan pendapatan bagi sebuah
rumah-tangga. Sehingga dapat juga mengkonsumsi barang-22 termasuk pendidikan bagi
putera-puteri. Sejalan dengan hal tersebut, akumulasi aset semakin besar yang dapat
memberikan peningkatan networth. Dan demikian seterusnya sebuah rumah-tangga
Muslim akan dapat juga mengkonsumsi barang-23 dengan semakin membaiknya tingkat
pendapatan. Selanjutnya dengan semakin tua dan menurunnya kesehatan dan
produktivitas, maka pendapatan akan menurun menjelang pensiun yang akhirnya
mencapai titik nol pada saat pensiun. Namun dengan adanya persiapan sejak dini, maka
akumulasi aset cukup besar sehingga networth sebuah rumah-tangga tua cukup untuk
6
mengamankan hari tuanya, yang akhirnya dapat menikmati ketenteraman dan
kebahagiaan di hari tua.
Selanjutnya life-cycle hypothesis, human capital investment theory dan kerangka
prioritas konsumsi tetap dipakai untuk menjelaskan bagaimana rumah-tangga Muslim
mengkonsumsi barang-1. Dalam tulisan ini jenis barang-1 disederhanakan dalam tiga
golongan yang berdasarkan rukun Islam, yaitu sebagai berikut:
11. Kebutuhan dasar bagi rumah-tangga Muslim, yaitu mengamankan syahadah, kegiatan
sholat dan puasa.
12. Kebutuhan sekunder bagi rumah-tangga Muslim adalah mengeluarkan zakat bagi
yang mampu.
13. Kebutuhan tertier adalah melaksanakan kegiatan haj bagi yang mampu.
Sebuah rumah-tangga Muslim pada awalnya mengalokasikan dananya untuk
kebutuhan-kebutuhan yang mendasar bagi rumah-tangga Muslim, yaitu mengamankan
syahadah, kegiatan sholat dan puasa (barang-11). Tanpa alokasi dana kepada barang-11
dapat mengancam ke Islaman individu-individu dalam rumah-tangga. Oleh karena itu
dengan alokasi dana pada barang-11 dapat mengamankan identitas sebuah rumah-tangga
Muslim. Kegiatan ini dapat berbentuk penyediaan pendidikan keagamaan bagi
putera/puteri sejak kecil. Utility dari konsumsi barang ini dapat dirasakan juga pada saat
hidup didunia dalam bentuk ketenangan dan kearifan bertindak dan secara bersamaan
seorang Muslim akan mendapatkan pahala dari kegiatan-kegiatan tersebut. Sebuah
rumah-tangga Muslim akan memperoleh akumulasi pahala yang dapat dinikmatinya
setelah mati.
Selanjutnya dengan meningkatnya pendapatan serta terakumulasinya aset dan
networth yang cukup nisab, maka sebuah rumah-tangga Muslim wajib untuk ber-zakat.
Sehingga sebagian dari networth harus dikeluarkan untuk kepentingan umat. Dengan
keyakinan yang dimiliki sebagai seorang Muslim, pengeluaran zakat (barang-12) tersebut
merupakan suatu kegiatan konsumsi yang memberi kepuasan bagi rumah-tangga Muslim
dan disaat bersamaan rumah-tangga ini menambah akumulasi pahala. Dengan pengertian
yang seperti ini, rumah-tangga Muslim tidak merasakan pengeluaran zakat sebagai beban,
karena pengeluaran ini seperti juga pengeluaran untuk konsumsi lainnya akan memberi
kepuasan bagi rumah-tangga. Akhirnya dengan semakin membaiknya pendapatan dan
networth, sebuah rumah-tangga yang telah mampu dengan sendirinya akan mengeluarkan
dana untuk mengkonsumsi kegiatan haj (barang-13) yang memberinya kepuasan dalam
bentuk ketenangan telah memenuhi rukun Islam yang lima. Pada saat bersamaan rumahtangga
ini pun menambah akumulasi pahala yang sangat bermanfaat bagi pencapaian
surga dalam kehidupan setelah mati.
Dengan pola konsumsi yang seperti dijelaskan diatas sebuah rumah-tangga
Muslim akan mencapai kepuasan maksimum dalam bentuk kebahagiaan didunia dan
akhirat. Pada awalnya sebuah rumah-tangga memfokuskan pengalokasian dana untuk
memenuhi kebutuhan barang-11 dan barang-21 yang optimal. Selanjutnya dengan
meningkatnya pendapatan dan mulai terakumulasinya networth, rumah-tangga akan
berusaha mencapai kombinasi yang optimal dari barang-11 dan barang-12 disatu sisi dan
barang-21 dan barang-22 disisi lain. Akhirnya adalah bagaimana rumah-tangga
mengkombinasikan barang11, barang-12 dan barang-13 yang pada dasarnya untuk
kepentingan akhirat dan barang-21, barang-22 dan barang-23 untuk kepentingan dunia.
7
Dengan pola konsumsi yang seperti ini, Insya Allah umat Islam terhindar dari
kerakusan yang hanya mementingkan kepuasan didunia. Pada dasarnya resources
merupakan amanah dari Allah yang pemanfaatannya harus efisien dan adil. Berdasarkan
nilai-nilai Islam, resources harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan
investasi yang produktif, sama sekali bukan untuk conspicuous consumption,
pengeluaran-pengeluaran non-produktif dan spekulatif. Inilah yang kita temui di negaranegara
barat, bahwa maksimisasi utility hanya ditinjau dari satu sisi, yaitu kepentingan
dunia. Pola konsumsi barat yang seperti ini yang menggiring manusia hanya sebagai
homo economicus, yaitu manusia yang mementingkan diri sendiri (selfish) dan ingin
memiliki segalanya (acquisitive). Yang pada akhirnya konsumsi yang dilakukan berlebih-
lebihan atau extravagance sehingga tidak memberikan peningkatan social welfare
bagi masyarakat. Inilah yang dikatakan Al-Ghazali dan Al-Shatibi sebagai mafasid atau
disutilities, yaitu kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan peningkatan social welfare.
Sedangkan dengan pola konsumsi yang Islami dapat memberikan masalih atau utilities
karena pola ini memasukkan zakat sebagai kegiatan konsumsi yang dapat memberikan
kepuasan disatu sisi, dan merangsang orang untuk giat bekerja disisi lain yang pada
gilirannya akan menghasilkan peningkatan social welfare masyarakat.
Bila rumah-tangga Muslim telah menyadari sepenuhnya bahwa pengeluaran zakat
merupakan bagian dari kegiatan konsumsi untuk mencapai maksimum utility, maka
masalahnya sekarang bagaimana mengalokasikan zakat yang terkumpul. Dengan
memperhatikan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pola konsumsi yang
Islami ini sangat tergantung pada perencanaan sejak dini dalam bentuk persiapanpersiapan
human capital investment guna mengantisipasi life-cycle hypothesis, bahwa
suatu saat orang akan menjadi tua dan tidak produktif. Persiapan-persiapan tersebut
adalah dengan membekali putera/puteri dengan pendidikan keagamaan (bagian dari
barang-11) dan pendidikan formal (bagian barang-22) sejak dini. Mengingat surat At
Taubah ayat 60 menyebutkan salah satu alokasi dana zakat untuk fii sabii lillah,
sedangkan melaksanakan kegiatan pendidikan formal/keagamaan merupakan bagian dari
fii sabii lillah, maka tulisan ini mengusulkan salah satu alokasi zakat adalah untuk
kepentingan pendidikan formal/keagamaan yang sangat berperan bagi rumah-tangga
Muslim dalam pencapaian maksimum utility. Alokasi dana ini khususnya disampaikan
kepada anak-anak yang tidak mampu membiayai pendidikannya, sehingga melalui
pendidikan yang baik akan dapat memperkecil kuantitas umat yang berada dibawah garis
kemiskinan.
Selain dari pada itu alokasi dana dapat juga disalurkan kepada tujuh golongan lain
yang intinya disalurkan untuk keperluan konsumsi, menutup hutang dan sebagai modal
kerja. Keperluan konsumsi dan menutup hutang pada kondisi krisis seperti saat ini adalah
kegiatan yang tidak dapat dihindari, guna menyelamatkan umat untuk dapat memenuhi
kebutuhan mendasar. Penyaluran konsumsi dapat memiliki dampak peningkatan
pengeluaran konsumsi, karena penyaluran zakat pada orang-orang yang khususnya fakir
dan miskin cenderung akan meningkatkan marginal propensity to consume (MPC)
sehingga cenderung tiada dana yang tertinggal bagi penerima zakat. Sehingga secara
agregat akan menurunkan tingkat tabungan nasional. Disisi lain peningkatan MPC pada
gilirannya akan meningkatkan permintaan barang yang pada gilirannya akan
meningkatkan kegiatan produksi yang akhirnya dapat membuka lapangan kerja. Sehingga
8
hal ini memberikan dampak yang positif bagi perekonomian. Namun pemanfaatan zakat
untuk konsumsi cenderung digunakan untuk mengkonsumsi barang-barang non-durable
sehingga efek multiplier nya akan lebih kecil dibandingkan bila disalurkan untuk modal
kerja bagi kegiatan produktif.
Bila zakat disalurkan dalam bentuk modal kerja untuk digunakan sebagai modal
dalam berusaha (kecil-kecilan) dapat memberikan tambahan penerimaan bagi rumahtangga
penerima. Sehingga dana zakat tersebut tidak akan habis begitu saja, melainkan
akan berkembang. Dengan memutarkan dana zakat untuk kegiatan usaha akan
memberikan kemampuan bagi rumah-tangga penerima zakat untuk memenuhi kebutuhan
rumah-tangganya, yang pada satu saat rumah-tangga penerima zakat dapat beralih
menjadi pemberi zakat. Dengan penyaluran seperti ini akan memiliki dampak yang lebih
besar karena secara bertahap akan mengurangi golongan miskin, sehingga penyaluran
dengan cara ini dapat menghindari bantuan keuangan diberikan kepada orang yang sama
setiap tahun. Pada akhirnya penyaluran zakat untuk modal kerja dapat membuka lapangan
kerja dan peningkatan pendapatan dalam perekonomian yang akhirnya dapat
memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup orang banyak.
V. Kesimpulan dan Saran
Pola konsumsi yang Islami adalah pencapaian maksimum utility tidak hanya
mempertimbangkan konsumsi untuk kepentingan dunia namun juga mempertimbangkan
konsumsi untuk kepentingan akhirat. Bila pola konsumsi masyarakat telah Islami, maka
konsumsi yang kurang bermanfaat dan berlebih-lebihan dapat dihindari. Selain dari pada
itu, terciptanya prilaku unit konsumer yang sedemikian rupa akan memudahkan
pengembangan perbankan syariah, karena baik dari sisi pemakai maupun penyedia jasa
perbankan syariah akan memperhatikan kepentingan akhirat yang merupakan salah satu
faktor penentu keberhasilan pengembangan perbankan syariah.
Salah satu konsumsi untuk kepentingan akhirat adalah zakat, dengan adanya
kesadaran bahwa pengeluaran untuk zakat adalah pengeluaran konsumsi guna pencapaian
maksimum utility, maka diharapkan rumah-tangga Muslim akan dapat menikmati
pengeluaran tersebut dan tidak melihat zakat sebagai beban bagi rumah-tangga. Dengan
keadaran yang sedemikian rupa, diharapkan rumah-tangga Muslim yang belum
menggunakan pola konsumsi yang Islami agar segera beralih ke pola konsumsi yang
Islami sehingga bersedia untuk mengeluarkan zakat, khususnya zakat mal. Disisi lain
zakat akan merangsang rumah-tangga untuk dapat bekerja lebih giat guna menghindari
penurunan networth.
Penulis sependapat dengan mantan presiden bahwa perlu adanya kesadaran umat
dalam menunaikan kewajiban ber-zakat, yang menurut penulis perubahan tersebut dapat
terjadi bila umat mau dan bersedia merubah pola konsumsi yang hanya
mempertimbangkan kepentingan dunia menjadi pola konsumsi yang mempertimbangkan
kepentingan dunia dan akhirat. Selanjutnya penulis setuju bahwa penyaluran zakat untuk
program JPS, namun dengan penekanan pada program pendidikan formal maupun
keagamaan serta untuk modal kerja. Hal ini mengingat pendidikan merupakan salah satu
faktor penentu yang dapat membebaskan masyarakat dari kemiskinan struktural serta
mengingat pentingnya pendidikan bagi anggota rumah-tangga yang ditinjau dari life-cycle
hypothesis dan human capital investment theory. Selanjutnya penyaluran zakat untuk
9
modal kerja akan dapat mengurangi orang yang berada dalam kelompok miskin. Akhirnya
walaupun penyaluran zakat untuk konsumsi tetap harus dilaksanakan, namun penyaluran
zakat pada program JPS sebaiknya lebih diarahkan pada program yang memberikan
“kail” (pendidikan dan modal kerja) dari pada “ikan” (penyaluran sembako).
Daftar Pustaka
Bryan, Keith W. (1990). The Economic Organization of the Household. New York:
Cambridge University Press 1990.
Dornbusch, Rudiger and Stanley Fischer (1984). Macro-Economics. New York:
McGraw-Hill Inc..
Faridi, F. R. (1976). Zakat and Fiscal Policy. Paper presented at The First International
Conference on Islamic Economics, Jeddah, February 1976.
Kahf, Monzer (1976). A Contribution to the Theory of Consumer Behaviour in an
Islamic Society. Paper presented at The First International Conference on Islamic
Economics, Jeddah, February 1976.
Kuran, Timur (1995). Islamic Economics and the Islamic Subeconomy, The Journal of
Economic Perspectives, 9: 4, 155-173.
Saud, Muhammad Abu (1976). Money, Interest and Qirad. Paper presented at The
First International Conference on Islamic Ecomics, Jeddah, February 1976.
Zarqa, Anas (1976). Islamic Economics: An Approach to Human Welfare. Paper
presented at The First International Conference on Islamic Ecomics, Jeddah,
February 1976.

STRATEGI PENGEMBANGAN PASAR UANG SYARIAH

1. Pendahuluan.
Oleh Zainul Arifin
Konsep Perbankan Syariah adalah relatif baru bagi masyarakat Indonesia, termasuk
bagi masyarakat muslim itu sendiri. Walaupun pemikiran konsep dasar perbankan
syariah itu telah berjalan lama, dalam kenyataannya praktek bank syariah itu
baru mulai pada tahun 1992. Berdasarkan kenyataan bahwa praktek perbankan
syariah itu baru pada tahap awal (an infant stage), adalah wajar bila sistem
perbankan syariah itu masih kurang dimengerti oleh masyarakat, sehingga sebagian
dari mereka memandang, bahkan sebagian lagi telah ikut menggunakan jasa Bank
Syariah, dengan harap-harap cemas dan keraguan sekaligus. Oleh karena itu
sebelum kita sampai pada inti pokok bahasan, terlebih dahulu perlu diuraikan
secara singkat beberapa aspek yang menyangkut prinsip-prinsip syariah yang
berkaitan dengan perbankan.
Bila masyarakat kita ditanya tentang apakah bank syariah itu, maka kebanyakan
mereka hanya menyatakan bahwa bank syariah itu adalah bank tanpa bunga. Walaupun
pernyataan ihu tidak salah, namun sebenamya bank syariah bukan sekedar itu. Lagi
pula produk-produk bank syariah bukan merupakan produk yang aneh (exotic
product), dan bukan hanya diperuntukkan atau hanya dapat diterima oleh
masyarakat muslim saja
Dalam pandangan syariah, uang itu bukan merupakan suatu komoditi melainkan hanya
sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value).
Tanpa pertambahan nilai ekonomis itu, uang tidak dapat menciptakan
kesejahteraan. Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana uang
mengembang-biakkan uang, tidak perduli apakah dipakai dalam kegiatan produktif
atau tidak. Waktu adalah faktor utamanya. Sedangkan dalam pandangan syariah,
uang hanya akan berkembang bila ditanamkan ke dalam kegiatan ekonomi riil
(tangible economic activities). Dengan demikian hubungan antara bank syariah
dengan nasabahnya adalah lebih sebagai partner ketimbang sebagai lender atau
borrower. Bank syariah dapat bertindak sebagai pembeli, penjual, atau pihak yang
menyewakan (lessor). Hal itu bisa dilakukan secara langsung, dimana bank
mempunyai expertise untuk bertindak sebagai perusahaan dagang (trading house),
atau secara tidak langsnng dengan cara bertindak sebagai agen bagi nasabahnya.
Untuk menghasilkan kenntungan, uang harus terkait erat dengan kegiatan ekonomi
dasar (Primary economic activity), baik secara langsung bertindak sebagai
trading house melakukan transaksi seperti perdagangan, kegiatan industri atau
sewa-menyewa dan lain-lain, atau secara tidak langsung bertindak sebagai
investment company melakukan penyertaan modal guna melakukan salah satu dari
atau seluruhh kegiatan usaha tersebut.
Berdasarkan prinsip tersebut Bank Syariah dapat menarik dana dalam bentuk :
 Titipan (wadiah), yaitu simpanan yang dijamin keamanan dan
pengembaliannya (guaranteed deposit), tetapi tanpa memperoleh imbalan atau
keuntungan;
 Partisipasi modal berbagi hasil dan berbagi resiko (non guaranteed deposit)
untuk investasi umnm (general investment account / mudharabah mutlaqah)
dimana bank akan membayar bagian keuntungan secara proporsional dari
portfolio yang didanai dengan modal tersebut;
 Investasi khusus (Special investment / mudharabah muqayyadah) dimana bank
bertindak sebagai manajer investasi nntuk memperoleh fee. Jadi bank tidak
ikut berinvestasi sedangkan investor sepenuhnya mengambil resiko atas
investasi tersebut.
Dengan demikian, snmber dana Bank Syariah terdiri dari :
(1) Modal (core capital),
(2) Kuasi Ekuitas (mudharabah accounts), dan
(3) Titipan (Wadiah / non remunerated deposits).
Dari gambaran singkat tersebut jelas bahwa ruang lingkup usaha perbankan syariah
adalah bersifat universal banking. Ia meliputi commercial banking dan investment
banking. Namun demikian sistem perbankan syariah secara prinsip sangat berbeda
dengan sistem perbankan konvensional. Perbedaan tersebut memberikan konsekuensi
perlunya pengaturan yang berbeda dengan pengaturan perbankan konvensional,
antara lain misalnya peraturan tentang pola pengendalian likuiditas, perhitungan
kecukupan modal dan sebagainya.
2. Prinsip Pengelolaan Likuiditas.
Likuiditas adalah kemudahan atau kemampuan untuk mengubah non liquid assets
menjadi liquid assets, biasanya dalam bentuk tunai (cash) dengan tanpa atau
sedikit sekali berkurangnya nilai assets tersebut.
Kuat atau lemahnya kemampuan likuiditas aset tergantung kepada dua faktor utama
yaitu kandungan daya cair aset itu sendiri (self contain liquidity) dan daya
jual aset tersebut (markeability). Daya cair aset (self liquiditing) ditentukan
oleh syarat-syarat penjualan aset tersebut, baik jangka waktu maupun cara
pembayarannya. Sedangkan marketability dari aset bukan saja terletak pada
kemampuan pengalihan aset tersebut kepada pihak lain secara final atau permanen,
tetapi juga terletak pada keberhasilan penawaran kepada pihak lain untuk ikut
berpartisipasi mendanai aset tersebut. Faktor yang disebut pertama berkaitan
dengan salah satu teori likuiditas perbankan yang dikatakan sebagai commercial
loan theory dan yang disebut terakhir banyak dibahas dalam apa yang dikatakan
sebagai shiftability theory.
Sebagai Badan Usaha (business entity), tujuan bank adalah memaksimumkan
kesejahteraan para stakeholders melalui peningkatan nilai investasi para
pemegang saham pada bank yang bersangkutan. Karena aktiva bank yang ada dalam
bentuk alat-alat likuid itu pada umumnya adalah nonearning assets, maka dana
yang ditanam pada liquid assets ini harus seminimal mungkin tanpa menimbulkan
resiko yang terlalu tinggi.
Teknik dan faktor yang digunakan unhtk mencapai tujuan itu dapat dibagi dalam
tiga kelompok yaitu:
(a) item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso,
(b) saldo (nonreserve) pada bank koresponden, dan
(c) primary reserve.
Bank harus berusaha agar proses inkaso dapat dilakukan secepat mungkin, antara
lain dengan melakukan kerja lembur, penggunaan Electronic Fund Transfer, memilih
kurir yang cepat, dan lain-lain. Analisa yang barus dilakukan adalah memastikan
bahwa manfaat dari perubaban item non cash menjadi cash harus lebih besar dari
pada biaya inkaso itu sendiri.
Bank koresponden biasanya mensyaratkan saldo minimum yang harus dipelibara
sebagai kompensasi atas servis yang diberikan, seperti investment advice,
holding securities (safe keeping), pengaturan pembelian dan penjualan suratsurat
berharga, menawarkan loan participation, jasa transfer, inkaso dan lainlain.
Saldo itu harus disediakan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat yang
dapat diperoleh.
Kewajiban reserve harus diperlakukan sebagai kebutuhan wajar dalam bisnis
perbankan. Oleh karena itu, bank harus berusaha agar biaya penyediaan reserve
tersebut harus lebih kecil daripada manfaat bisnis yang diperoleh.
3. Masalah Pengelolaan Likuiditas
Pengelola Bank selalu berusaha untuk memaksimalkan keuntungan mereka (Return on
Total Assets) dengan cara menginvestasikan sebanyak mungkin dana yang tersedia.
Namun manajemen juga didesak oleh kebutuhan untuk memiliki likuiditas yang cukup
guna mengatasi setiap masalah mismatch yang tejadi antara aset dan liabilitas.
Salah satu kendala operasional yang dihadapi oleh Perbankan Islam adalah
kesulitan mereka mengendalikan likuiditasnya secara efisien. Hal itu terlihat
pada beberapa gejala yang antara lain:
 Tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana-dana simpanan yang
diterimanya. Dana-dana tersebut terakumulasi dan menganggur untuk beberapa
hari sehingga mengurangi rata-rata pendapatan mereka;
 Kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan, pada saat ada
penarikan dana dalam situasi kritis. Akibatnya Bank-Bank Syariah menahan alat
likuid-nya dalam jumlah yang lebih besar dari pada rata-rata perbankan
konvensional. Sekali lagi kondisi ini pun menyebabkan berkurangnya rata-rata
pendapatan bank.
Dengan kinerja rata-rata seperti itu, maka deposan yang hanya mencari
keuntungan, lebih banyak cenderung memindahkan dananya ke bank lain, sementara
nasabah yang loyal terkesan babwa mengikuti prinsip syariah berarti menambah
beban.
Pada umumnya Bank Syariah mengalami dua macam kendala bila dibandingkan dengan
bank konvensional yaitu:
a. Kurangnya akses untuk memperoleb dana likuiditas dari Bank Sentral (kecuali
hanya di beberapa negara Islam saja); dan
b. Kurangnya akses ke Pasar Uang (Money Market) sehingga Bank Islam hanya dapat
memelihara likuiditas dalam bentuk kas.
4. Praktek Pasar Uang Konvensional
Pasar Uang (money market) adalah pasar dimana diperdagangkan surat-surat
berharga jangka pendek, sedang Pasar Valuta Asing (Foreign Exchange Market)
adalah pasar dimana diperdagangkan surat-surat berharga dalam suatu mata uang
dengan melibatkan mata uang lain.
Artikel-artikel yang diperdagangkan di Pasar Uang adalah uang (money) dan uang
kuasi (near money)1. Uang atau uang kuasi tidak lain daripada surat berharga
1 Heinz Riehl and Rita M. Rodriguez, Foreign Exchange Market: A Guide to Foreign Currency Operations, McGraw-
Hill, Inc. 1977, p.4.
(financial paper) yang mewakili uang dimana seseorang (atau perusahaan)
mempunyai kewajiban kepada orang (atau perusahaan) lain. Dalam hal mata uang
(currency),yaitu uang tunai yang ada di dalam saku kita, adalah merupakan bukti
kewajiban Pemerintah akan sejumlah uang kepada kita, sebagai pembawa mata uang
tersebut. Dalam hal treasury bill, hal ini juga merupakan kewajiban pemerintah
senilai equivalen sejumlah uang kepada pemilik bill tersebut. Bill tersebut baru
dapat dibayar oleh Pemerintah dalam bentuk tunai setelah lewatnya jangka waktu
yang ditetapkan, yaitu pada tanggaljatuh tempo dokumen tersebut.
Dalam kasus pertama, mata uang pemerintah adalah uang yang sebenarnya, sedangkan
dalam kasus kedua, treasury bill hanyalah uang kuasi (near money). Tidaklah
sulit menjual treasury bill walaupun pemerintah tidak berkewajiban membayarnya
sebelum tanggal jatuh tempo. Contoh seperti treasury bill ini juga berlaku bagi
surat berharga lain, seperti certificate of deposit (CD), Banker Acceptance
(BA), corporate bond dan sebagainya, walaupun berbeda-beda tingkat
marketabilitasnya. Pada kenyataannya, tidak ada jaminan bahwa surat berharga
yang berjangka waktu lebih pendek mempunyai marketabilitas yang lebih baik
daripada yang berjangka lebih panjang. Bagian terbesar dari aktiva keuangan yang
diperdagangkan di Pasar Uang adalah yang berjangka waktu kurang dari satu tahun.
Namun demikian perdagangan yang aktif juga diadakan dari dokumen yang berjangka
waktu sampai lima tahun. Surat berharga yang berjangka waktu lebih panjang
biasanya lebih banyak dimiliki para investor di Pasar Modal, dimana surat
berharga jangka panjang diperdagangkan.
Uang atau uang kuasi yang diperdagangkan di dalam negeri (local money market)
adalah dalam mata uang yang berlaku sah di negeri itu. Tetapi bila uang atau
uang kuasi itu diperdagangkan di luar negara dimana mata uang itu berlaku sah,
maka kita sebut dengan foreign money market. Sebagai contoh, kita mengenal
Eurodollar market. Dalam hal ini surat berharga dalam mata uang Amerika Serikat
diperdagangkan di Eropa, yang kemudian juga diperdagangkan di berbagai tempat
seperti Asia.
Harga dalam Pasar Uang Konvensional biasanya dinyatakan dalam suatu persentase
yang mewakili pendapatan (return) berkaitan dengan penggunaan uang untuk
jangka waktu tertentu. Pelaku dalam Pasar Uang umumnya disebut peminjam
(borrowers) dan pemberi pinjaman (lenders). Peminjam adalah individu yang
membeli hak penggunaan dana untuk jangka waktu yang ditentukan sebelumnya.
Pemberi pinjaman adalah individu yang menjual hak penggunaan dana untuk jangka
waktu tersebut. Harga yang diterima oleh pemberi pinjaman untuk melepaskan hak
penggunaan dana itu disebut tingkat bunga (inferest rate)2. Misalnya di dalam
pinjaman sebesar Rp.100,- (seratus rupiah) bila pemberi pinjaman menerima
Rp.120,- (seratus dua puluh rupiah) pada akhir tahun, maka kelebihan sebesar
Rp.20,- (dua puluh rupiah) yang diterima tersebut dinyatakan dalam persentase
yaitu 20% (dua puluh persen) tingkat bunga pertahun. Pembayaran imbalan tersebut
dapat dilakukan dibelakang seperti pada Promissory Notes dan pada bonds, ataupun
dilakukan dimuka (discounted) seperti pada SBI dan CD. Seluruh instrumen
tersebut di atas tidak dapat diterima oleh syariah, karena berbasis bunga.
5. Kebutuhan Bank Syariah Akan Pasar Uang
Sebagaimana telah diuraikan di atas, tugas utama manajemen bank, tidak
terkecuali Bank Islam, adalah memaksimalkan kesejahteraan bagi para stakes
holder melalui peningkatan nilai investasi para pemegang saham, meminimalkan
resiko dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Manajemen tidak dapat
semaunya menarik nasabah untuk menyimpan dananya di bank, tanpa adanya keyakinan
2 Ibid p.19.
bahwa dana itu dapat diinvestasikan secara menguntungkan dan dapat dikembalikan
ketika dana itu sewaktu-waktu ditarik oleh nasabah atau dana tersebut telah
jatuh tempo. Disamping itu manajemen juga harus secara simultan mempertimbangkan
berbagai risiko yang akan berpengaruh pada perubahan tingkat laba yang
diperoleh.
Untuk memastikan bahwa aset Bank Syariah selain terdanai sepanjang waktu, Bank
Syariah harus memelihara tingkat likuiditas yang tinggi dalam rangka
mengantisipasi penarikan-penarikan dana, karena Bank Syariah tidak boleh menarik
dana dari sumber-sumber dana berbasis bunga.
Jelaslah, bahwa ketiadaan akses bagi Bank Syariah untuk meminjam dana di Pasar
Uang untuk mendanai aset mereka adalah merupakan pokok masalah yang mereka
hadapi. Apabila ada penarikan dalam jumlah besar, apapun alasannya, baik danadana
dari wadia atapun mudharabah, apa yang akan terjadi bila :
 Tidak ada Inter-Bank Money Market Syariah
 Tidak ada fasilitas yang berbasis syariah dari Bank Sentral sebagai lender of
last resort
 Bank Syariah dilarang meminjam dana berbunga, untuk mengganti dana-dana yang
ditarik oleh nasabahnya.
Setiap banker pasti dapat membayangkan betapa masalah likuiditas yang dihadapi
oleh bank syariah. Lalu, apa jalan keluar yang terbaik bagi mereka ?
Tanpa adanya fasilitas Pasar Uang, seperti halnya Bank Konvensional, Bank
Syariah pun akan menghadapi masalah yang sama, mengingat pada umumnya perbankan
sulit menghindari posisi keuangan yang mismatched. Untuk memanfaatkan dana yang
sementara idle itu, bank harus dapat melakukan investasi jangka pendek di Pasar
Uang, dan sebaliknya untuk memenuhi kebutuhan dana untuk likuiditas jangka
pendek, karena mismatch, bank juga harus dapat memperolebnya di Pasar Uang.
Karena surat-surat berharga yang ada di pasar keuangan konvensional, kecuali
saham, berbasis pada sistem bunga, Perbankan syariah menghadapi kendala karena
mereka tidak diperbolehkan untuk menjadi bagian dari aktiva atau pasiva yang
berbasis bnnga. Masalah ini berdampak negatif bagi pengelolaan likuiditas maupun
pengelolaan investasi jangka panjang. Akibatnya perbankan syariah terpaksa hanya
memusatkan portofolio mereka pada aktiva jangka pendek, yang terkait dengan
perdagangan, dan berlawanan dengan keperluan investasi dan pembangunan ekonomi.
Walaupnn manajemen telah berhasil menciptakan pasar bagi Perbankan Islam, namun
mereka belum mencapai kedalaman pasar yang menjamin keuntungan (profit ability)
dan kelangsungan usaha (viability) jangka panjang. Cepat atau lambatnya mereka
keluar dari masalah ini, akan tergantung pada kecepatan, keagresifan dan
keefektifan mereka membangun instrumen dan teknik yang memungkinkan tercapainya
fungsi intermediasi dua arah bagi Perbankan Islam. Mereka barus menemukan jalan
dan alat pengembangan instrumen keuangan berbasis syariah yang marketable,
dimana portofolio yang dihasilkan oleh Perbankan Islam dapat dipasarkan di pasar
keuangan yang lebih luas3.
6. Strategi Pengembangan Pasar Uang Berbasis Syariah
Pertama : Penciptaan Instrumen Pasar Uang Syariah
3 Abbas Mirakka, Executive Director, International Monetary Fund Washington, USA, Progress and Challenges of
lslamic Banking, Review of Islamic Economics, Vol.4 No.2 (1997).
Sebagaimana telah diuraikan di atas, surat-surat berharga yang beredar di pasar
keuangan konvensional adalah surat-surat berharga berbasis bunga, sehingga
Perbankan Islam tidak dapat memanfaatkan Pasar Uang yang ada. Kalaupun ada juga
saham sebagai surat tanda penyertaan modal yang berbasis bagi-hasil, namun masih
memerlukan penelitian apakah obyek penyertaan tersebut terbebas dari kegiatan
yang tidak disetujui oleh Islam. Dengan kata lain harus ada kepastian bahwa
emiten tidak menyelenggarakan perniagaan barang-barang yang dilarang oleh
syariah, atau mengandung unsur riba, maisir dan gharar. Oleh karena itu untuk
menciptakan Pasar Uang yang bermanfaat bagi Perbankan Syariah harus diciptakan
instrumen Pasar Uang yang berbasis syariah. Dengan aktifnya instrumen Pasar Uang
yang berbasis syariah maka Perbankan Syariah dapat melaksanakan fungsinya secara
penuh, tidak saja dalam memfasilitasi perdagangan jangka pendek tetapi juga
berperan mendukung investasi jangka panjang. Struktur keuangan dari proyekproyek
pembangunan berbasis syariah akan memperkaya piranti keuangan syariah dan
membuka partisipasi lebih besar dari seluruh pelaku pasar, tidak terkecuali non
muslim, karena pasar tersebut bersifat terbuka.
Perbedaan pokok antara lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan
konvensional adalah dilarangnya riba (bunga) pada lembaga keuangan syariah, baik
riba nasiah, yaitu riba pada pinjam-meminjam uang (qard) maupun riba fadl, yaitu
riba dalam perdagangan. Pendapatan atau keuntungan hanya boleh diperoleh dengan
bekerja atau melakukan kegiatan perniagaan yang tidak dilarang oleh Islam. Untuk
menghindari pelanggaran terhadap batas-batas yang telah ditentukan oleh syariah
tersebut maka piranti keuangan yang diciptakan harus didukung oleh aktiva,
proyek aktiva atau transaksi jual-beli yang melatarbelakanginya (underlying
transaction).
Beberapa pedoman syariah yang harus diperhatikan dalam penciptaan instrumen
pasar uang antara lain4 :
 Uang tidak dapat menghasilkan apa-apa. Uang hanya akan berkembang apabila
diinvestasikan pada kegiatan ekonomi riil (tangible economic activity);
 Keberhasilan kegiatan ekonomi diukur dengan return on investment (ROI).
Return ini hanya boleh diestimasikan tetapi tidak boleh ditentukan terlebih
dahulu di depan;
 Bagian saham dalam perusahaan, kegiatan mudharabah atau kemitraan musyarakah
dapat dipejual-belikan untuk kegiatan investasi dan bukan untuk tujuan
spekulasi atau untuk tujuan perdagangan paper;
 Piranti keuangan Islami, seperti bagian saham dalam suatu kemitraan atau
perusahaan dapat dinegosiasikan (dibeli atau dijual) karena ia mewakili
bagian saham dalam jumlah aset dari bisnis nyata.
Beberapa Restriksi yang berkaitan dengan jual-beli share seperti itu adalah :
 Uang tidak boleh dijual untuk memperoleh uang
 Nilai per share dalam bisnis harus didasarkan pada penilaian terhadap bisnis
itu sendiri (fundamental analysis)
 Transaksi tunai harus diselesaikan segera sesuai dengan kontrak
 Adalah diperbolehkan membeli saham perusahaan yang memiliki hutang pada
neraca perusahaan, tetapi hutang tersebut harus tidak dominan
 Pemilik modal punya hak untuk mengakhiri kepemilikannya bila ia menghendaki,
kecuali bila diperjanjikan lain.
4 Dr. Yahia Abdul Rahman, Islamic Instruments For Managing Liquidity, International Journal of Islamic Financial
Services, Vol.l, No. 1, April-June 1999.
Aset dapat didanai dari equity atau pinjaman. Karana pinjaman tidak dapat
diperdagangkan, sedangkan ekuitas dapat diperjual-belikan, maka mengapa kita
tidak membangun sistem dimana pendanaan aset dilakukan dengan menggunakan
ekuitas ?5
Piranti keuangan itu dapat dibentuk melalui sekuritisasi aktiva / proyek aktiva
(assets securitization), yang merupakan bukti penyertaan, baik dalam bentuk
penyertaan musyarakah (management share), yang meliputi modal tetap (fixed
capital) dengan hak mengelola, mengawasi dan hak suara dalam pengambilan
keputusan (voting light), maupun dalam bentuk penyertaan mudharabah
(participation share), yang mewakili modal keja (variable capital), dengan hak
atas modal dan keuntungan dari modal tersebut, tetapi tanpa voting right.
Dalam rangka menyediakan sarana untuk penanaman dana atau pengelolaan dana
berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, strategi pertama itu telah
direalisasikan oleh Bank Indonesia, melalui Peraturan Bank Indonesia nomor
2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan
Prinsip Syariah (PUAS). Peserta PUAS terdiri atas Bank Syariah dan Bank
Konvensional. Bank Syariah dapat melakukan penanaman dana dan atau pengelolaan
dana, sedangkan Bank Konvensional hanya dapat melakukan penanaman dana.
Instrument yang digunakan dalam PUAS itu adalah berupa Sertifikat Investasi
Mudharabah Anfarbank (Sertifikat IMA). Besarnya imbalan atas Sertifikat IMA
mengacu pada tingkat imbalan bagi hasil investasi mudharabah bank penerbit
sesuai dengan jangka waktu penanaman dan nisbah bagi hasil yang disepakati.
Kedua : Mekanisme operasi Pasar Uang Syariah
Mekanisme perdagangan surat-surat berharga berbasis syariah harus tetap
berkaitan dan berada dalam batas-batas toleransi dan ketentuan-ketentuan yang
digariskan oleh syariah6, seperti antara lain:
 Fatwa Ulama pada simposium yang disponsori oleh Dallah al Baraka Group pada
bulan November 1984 di Tunis menyatakan: "Adalah dibolehkan menjual bagian
modal dari setiap perusahaan dimana manajemen perusahaan tetap berada
ditangan pemilik nama dagang (owner of trade name) yang telah terdaftar
secara legal. Pembeli hanya mempunyai hak atas bagian modal dan keuntungan
tunai atas modal tersebut tanpa hak pengawasan atas manajemen atau pembagian
aset kecuali untuk menjual bagian saham yang mewakili kepentingannya"7
 Lokakarya Ulama tentang Reksa Dana Syariah, Peluang dan Tantangannya di
Indonesia, yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 30-31 Juli 1997,
telah membolehkan diperdagangkannya reksadana yang berisi surat-surat
berharga dari perusahaan-perusahaan yang produk maupun operasinya tidak
bertentangan dengan syariah Islam.
Dana yang telah dihimpun oleh Bank syariah dalam bentuk mudharabah investment
deposit sebagian besar diinvestasikan dalam transaksi murabahah, bai al salam,
istisna’, ijarah, ijarah muntahia bi tamlik dll. Asets tersebut kemudian
disekuritisasi oleh Special Purpose companies (SPC) yang dikelola oleh Bank
sebagai the securitization vehicles. Bila bank mengalami mismatch maka bank
5 Abdel Haq Al Kafsyi, Islamic Interbank Money Market. 2000
6 Dalam beberapa hal harus terlebih dahulu memperoleh fatwa Dewan Syariah.
7 Saleh Kamil, The importance of Assets and Debts Securitization in Creating Dynamic Islamic Banking Environment,
Paper presented to Labuan International Summit on Islamic Financial and Investment Instrument, Labuan, Malaysia,
16-18 June 1997.
dapat menarik dana-dana melalui penjualan unit-unit penyertaan yang diterbitkan
oleh SPC tersebut. Bank-bank lain termasuk Bank Sentral juga dapat membeli unitunit
menyertaan tersebut sebagai penempatan dananya. SPC dapat mengumumkan harga
dari unit-unit penyertaan tersebut setiap bulan, setiap minggu atau setiap hari
berdasarkan perhitungan net asset value yang dilakukannya, sehingga unit-unit
penyertaan tersebut memiliki level likuiditas yang tinggi.
Untuk menyediakan fleksibilitas bagi Bank Syariah, SPCs akan memiliki dua tiers
unit-unit penyertaan tersebut, yaitu :
 Management Shares (merupakan bagian terkecil) dan
 Variable Participation Shares (jumlah terbesar dari unit penyertaan)
Seorang akan tertarik menanamkan dananya pada instrumen keuangan apabila dapat
diyakini bahwa instrumen tersebut dapat dicairkan setiap saat tanpa mengurangi
pendapatan efektif dari investasinya. Oleh karena itu setiap instrumen keuangan
harus memenuhi beberapa syarat antara lain:
(a) Pendapatan yang baik (good return);
(b) Resiko yang rendah (low risk);
(c) Mudah dicairkan (redemable);
(d) Sederhana (simple); dan
(e) Fleksibel.
Dalam rangka memenuhi syarat-syarat tersebut, tanpa mengabaikan batas-batas yang
diperkenankan oleh syariah, maka diperlukan adanya suatu special purpose company
(selanjutnya disebut 'company’) lain sebagai investment vehicle, dengan fungsi
sebagai berikut:
 Memastikan keterkaitan antara sekuritisasi dengan aktivitas produktif atau
pembangunan proyek-proyek aset baru, dalam rangka penciptaan pasar primer
melalui kesempatan investasi baru dan menguji kelayakan (feasibility)-nya.
Tahap ini disebut 'transaction making' yang didukung oleh Initial Investor.
 Menciptakan pasar sekunder yang dibangun melalui berbagai pendekatan yang
dapat mengatur dan mendorong terjadinya konsensus perdagangan antara para
dealer, termasuk fasilitas pembelian kembali (redemption).
 Menyediakan layanan kepada nasabah dengan mendirikan lembaga pembayar (paying
agent).
Konsep ini dapat diterapkan secara lebih luas dengan pendayagunaan sumber-sumber
dari lembaga-lembaga lain dan para nasabah dari Perbankan Syariah sehingga
memungkinkan adanya:
 Penciptaan proyek-proyek besar dan penting;
 Para penabung kecil dan para investor berpenghasilan rendah dapat memperoleh
keuntungan dari proyek-proyek yang layak (feasible) dan sukses dimana mereka
dapat dengan mudah mencairkan kembali dengan pendapatan yang baik;
 Memperluas basis bagi pasar primer; dan
 Menjembatani kesulitan menemukan perusahaan yang bersedia ikut berpartisipasi
dalam permodalan (Joint stock companies) dan mengutipnya di pasar.
Pertemuan dalam Konferensi Pasar Modal yang diadakan di Beirut, Libanon8,
menegaskan kembali perlunya pengembangan konsep berikut pedoman lebih lanjut.
Para pengembang developer) dan para pengambil inisiatif memerlukan kebijakan dan
8 Ibid
prosedur Pasar Uang, terutama dalam hal jaminan pembelian kembali bagi para
investor. Oleh karena itu lembaga marketing yang berkualitas juga diperlukan.
Apabila semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi maka akan banyak instrumeninstrumen
keuangan baru yang menarik, yang terkait dengan proyek-proyek
produktif, yang dapat dikembangkan di Pasar Sekunder.
Peranan 'Company’
Peranan utama dari ‘company’adalah sebagai pembuat transaksi (transaction
maker). Sebagaimana kita ketahui bahwa semua lembaga keuangan berusaha
memobilisasi dana-dana dari para penabung dan mempertimbangkan jalan terbaik
untuk menggunakannya. Salah satu kelemahan dari tingkah laku ini adalah adanya
dana-dana yang menganggur atau digunakan secara tidak layak, hanya semata-mata
mengambil keuntungan dari waktu dan seringkali menanamkan dana-dana tersebut
pada transaksi yang meragukan. Untuk menghindari hal itu maka diperlukan adanya
inisiatif dari pembuat transaksi dengan mekanisme kerja sebagai berikut:
 Pertama, melakukan verifikasi atas kesempatan investasi, baik secara internal
(perusahaan) maupun secara eksternal (pasar). Apabila transaksi tersebut
dapat diterima, maka pembuat transaksi (yang bekerja berdasarkan komisi)
melakukan usaha lebih lanjut. Proyek itu akan dibeli oleh atau ditawarkan
kepada Initial Investor dari bagian saham yang telah ditanam untuk memperoleh
partisipasi dari pasar. Dengan peranan demikian maka dimungkinkan penciptaan
surat-surat berharga jangka pendek. Rekening-rekening dan mekanisme
investasi dapat dikembangkan untuk memungkinkan nasabah menginvestasikan
dananya dalam jangka pendek, dengan pendapatan yang wajar, tanpa resiko yang
berarti, dan tetap sesuai dengan syariah. Dengan jalan demikian kesempatan
baik dapat diserap dari deposito jangka pendek atau rekening koran. Treasury
dari setiap bank dapat merencanakan likuiditasnya dengan baik dengan
menggunakan kesempatan dan mekanisme tersebut.
 Kedua, untuk mengatasi kesulitan dan untuk memastikan adanya kemungkinan bagi
investor untuk mencairkan kembali investasi mereka, sewaktu-waktu mereka
butuhkan, tanpa mempengaruhi pendapatan efektif yang mereka harapkan, maka
perusahaan dapat menerapkan program-program sebagai berikut:
1. Mendukung perjanjian perdagangan sekuritas.
Bagian saham dari 'company' ini dapat dipertukarkan sesuai dengan
perjanjian yang saling menguntungkan (mutual agreement). 'Company'
mensponsori dan mengawasi pertukaran. Surat-surat berharga tersebut
ditransfer setelah aspek-aspek legal diselesaikan, kemudian diikuti dengan
penyediaan fasilitas Pasar Sekunder, mendorong dan mendukung para dealer
untuk mengambil dan memperdagangkan instrumen keuangan tersebut. 'Company'
juga memperkenalkan, untuk pertama kalinya, pelayanan penebusan suratsurat
berharga (security redemption services).
2. Program Penebusan (Redemption Programme)
Penebusan dilakukan dengan harga yang berlaku pada saat transaksi
pembelian kembali. Dalam hal ini diberlakukan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
 Pengawasan penebusan.
Untuk mengorganisasikan transaksi pembelian kembali dan untuk
memelihara hak-hak pengawasan dikembangkan peraturan-peraturan berikut:
a. Nasabah memberitahukan kepada manajemen 'Company' atau agen-agen
pembelian kembali tentang keinginan mereka untuk menjual semua atau
sebagian saham beberapa hari sebelumnya.
b. Dalam beberapa surat berharga tertentu, harga maksimum penebusan
dapat ditentukan.
c. Semua persyaratan pembelian kembali dinyatakan dalam Prospektus.
Tidak ada persyaratan lain yang harus ditambahkan selama jangka
waktu penerbitan.
 Penetapan Jumlah dan Harga Pembelian Kembali:
a. Periode pembelian kembali ditetapkan misalnya setiap minggu oleh
suatu panitia ad hoc. 'Company' mengumumkan harga-harga tersebut
setiap hari dan setiap harga berlaku selama seminggu;
b. Panitia yang menetapkan jumlah dan harga pembelian kembali dapat
terdiri dari 'Company', agen pembelian kembali dan wakil dari
pemegang saham yang memiliki bagian sedikitnya, misalnya 10%
(sepuluh persen) dari nilai penerbitan;
c. Penetapan harga pembelian kembali dapat didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan beberapa faktor sebagai berikut:
 Faktor permintaan dan penawaran didasarkan atas indikasi-indikasi
yang diperoleh dari perjanjian-perjanjian transaksi jual beli.
 Features posisi keuangan riil dari surat berharga yang
diterbitkan.
 Rate pasar yang berlaku umum sebagai bahan perbandingan.9
 Agen-agen pembayaran (paying agents)
Dalam rangka mempercepat dan memudahkan perputaran transaksi instrumen
keuangan, dapat didirikan agen-agen pembayaran. Fungsi ini dapat
diberikan sehubungan dengan kewajiban 'company' pada saat pembelian
kembali surat berharga tersebut atau pada saat pencairan akhir,
terutama bila area pasar yang memperdagangkan surat-surat berharga
tersebut secara geografis sangat luas. Agen pembayaran tersebut bekerja
atas dasar komisi.
3. Bertindak sebagai custodian
Untuk memudahkan transfer instrumen pasar uang yang diperdagangkan, maka
‘Company’ bertindak sebagai Custodian, sehingga setiap transaksi dilakukan dapat
dengan segera diikuti oleh pemindahan hak dengan menggunakan jasa ‘Comnpany’:
8. Khatimah.
Sebagai bank komersial, Bank Syariah tidak dapat menghindari kemungkinan
terjadinya posisi mismatch pada struktur aset dan liabilitas mereka. Untuk
memanfaatkan ekses likuiditasnya Bank Syariah harus bisa melakukan investasi
jangka pendek di Pasar uang, dan sebaliknya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas
jangka pendek karena mismatch Bank Syariah juga harus dapat memperolehnya di
Pasar uang.
9 Karena pasar uang syariah masih terbatas dan belum berlaku umum, maka biasanya calon investor selalu
membandingkan dengan rate of return (idealnya berdasarkan atas hasil studi industri sejenis) yang terjadi di pasar
keuangan konvensional.
Untuk menciptakan Pasar uang yang bermanfaat bagi perbankan syariah harus
diciptakan instrument pasar uang yang berbasis syariah dan diciptakan
infrastruktur bagi mekanisme operasi Pasar uang Syariah.
Melalui Peraturan Bank Indonesia no.2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antarbank
Syariah (PUAS) telah diciptakan instrumen yang dinamakan Sertifikat Invesfasi
Mudharabah Anfarbank (IMA), yang dapat diterbitkan oleh Bank Syariah dalam
rangka pengelolaan dana, dan dapat dibeli baik oleh Bank Syariah lain ataupun
Bank Konvensional dalam rangka penanaman dana.
Penciptaan infrastruktur Pasar Uang berbasis syariah harus merupakan strategi
lebih lanjut dalam rangka membuka kesempatan partisipasi dalam pasar uang
syariah yang lebib luas.
Wallahu a’lam bi shawab.