Sunday 6 January 2013

KONSEP, OPERASIONALISASI, DAN PROSPEK PEGADAIAN SYARIAH DI INDONESIA


1. Pendahuluan.
Ratusan tahun sudah ekonomi dunia di dominasi oleh sistem bunga. Hampir semua
perjanjian dibidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah
dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara
lain sehingga terus – menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi
perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak –
mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Didunia, diantara negara maju
dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang didalam negara
berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam.
Dalam kaitan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi, para ahli ekonomi tidak
melihat sistem bunga sebagai biang keladinya. Karena luput dari
pengamatan,Pemerintah di negara manapun dibikin repot dengan ulah sistem bunga
yang build – in concept – nya memang bersifat kapitalistik dan diskriminalistik.
Karena ketidak sadaran akan besarnya kelemahan sistem bunga, Pemerintah di negara
– negara itu menjadi sibuk menambalnya dengan berbagai kebijaksanaan dan
peraturan yang memaksa para pelaku ekonomi yang di untungkan sistem bunga agar
menaruh peduli kepada pelaku ekonomi yang dirugikan sistem bunga itu. Tetapi para
pelaku ekonomi yang diuntungkan sistem bunga dan telah menjadi konglomerat itu
kebanyakan lebih merasakannya sebagai paksaan daripada kewajiban, sebaliknya
para penyandang gelar ekonomi lemah (PEGEL) korban sistem bunga lebih
merasakannya sebagai belas kasihan dari pada hak. Dan pemasaran tapi sayangnya
sistem bunga yang berlaku secara otomatis menjaga jarak tetap diantara keduanya.
Namun di Indonesia, kita patut bersyukur bahwa sejak diundangkannya Undang –
Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia,
Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah
berdasarkan sistem bagi hasil.
Sebagian umat Islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu
mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah,
asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham,
menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan
sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk
berdirinya lembaga – lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti : modal
ventura, leasing, dan pegadaian.
1 Disajikan dalam rangka Dialog Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Perbankan
Syariah (PSPS) STIE “SBI” Yogyakarta, tanggal 25 Agustus 1997.
Dari pengalaman mendirikan bank syariah dan asuransi syariah, serta reksadana
syariah, diperlukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu, sehingga dengan
demikian untuk berdirinya pegadaian syariahpun diperlukan pengkajian terhadap
berbagai aspeknya secara luas dan mendalam.
2. Konsep lembaga gadai syariah.
Walaupun cikal bakal lembaga gadai berasal dari Italia yang kemudian berkembang
keseluruh dataran Eropa, perjanjian gadai ada dan diajarkan dalam Islam. Fikih Islam.
Fikih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut “rahn”, yaitu perjanjian menahan
sesuatu barang sebagai tanggungan hutang.
Dasar hukum rahn adalah Al Qur’an, khususnya surat Al – Baqarah ayat 282 yang
mengajarkan agar perjanjian hutang – piutang itu diperkuat dengan catatan dan saksi
– saksi, serta ayat 283 yang membolehkan meminta jaminan barang atas hutang2
Al – Qur’an, Surat Al – Baqarah, ayat 282 :
“ Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. … Dan
persaksikanlah dengan dua orang sakasi orang – orang lelaki diantaramu. Jika tak ada
dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi –
saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengiangatkanya. … “
Al – Qur’an, Surat Al – Baqarah, ayat 283 :
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). … “
Dasar hukum lainnya adalah Sunnah Rasul, khususnya yang meriwayatkan Nabi
Muhammad s.a.w. Pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang
diutang dengan jaminan berupa baju besinya.3
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r.a., berkata :
“ Rasullulah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau
maggadaikan kepadanya baju besi beliau “.
Dasar hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh)
perjanjian gadai. Selanjutnya yang menyangkut segi – segi teknis, seperti ketentuan
2 Al Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al
Mush – haf – asy – Syarif, Medinah Munawwarah, 1413 H, halaman 70 –71.
3 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, PT. Al – Ma’rif, Bandung, 1988, halaman 140.
tentang siapa yang harus menaggung biaya pemeliharaan selama marhun berada
ditangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb., adalah merupakan ijtihad yang
dilakukan para fukaha.
Unsur – unsur rahn adalah : orang yang menyerahkan barang gadai disebut “ rahin
“, orang yang menerima barang gadai disebut “ murtahin “, dan barang yang
digadaikan disebut “ marhun “. Juga merupakan unsur rahn adalah sighat akad.
Mengenai rukun dan sahya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis4
sebagai berikut :
1. Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai.
Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2. Adanya pemberi dan penerima gadai.
Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga
dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan
ketentuan syari’at Islam.
3. Adanya barang yang digadaikan.
Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan
barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada
dibawah pengasaan penerima gadai.
4. Adanya utang/ hutang.
Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga
atau mengandung unsur riba.
Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam
Kifayatul Akhyar5bahwa semua barang yang boleh dijual – belikan menurut
syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.
Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan perjanjian
gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan kewajiban masing – masing pihak
dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak normal. Situasi dan
Kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force mayor seperti
perampokan, bencana alam, dan sebagainya.
4 H. Chaeruddin Pasaribu, Drs., dan Suhrawardi K. Lubis, SH., Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1994, halaman 115-116,
5 H. Abdul Malik Idris, Drs., dan H. Abu Ahmadi, Drs., Kifayatul Akhyar, Terjemahan Ringkas FIQIH
ISLAM LENGKAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 143.
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah
menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam
batas nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan
yang nilainya cukup untuk jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari
murtahin adalah menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang
akan dipinjamkannya., sedang kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman
sesuai dengan yang disepakati bersama.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan
hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang
yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima
pembayaran hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian hutang,
sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang
rahin secara utuh tanpa cacat.
Diatas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara
barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya
dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban
membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah
menerima barang yang menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh. Dasar
hukum siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang
didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al – Syafi’I, Al – Ataram, dan Al –
Darulquthni dari Muswiyah bin Abdullah Bin Ja’far :
“Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul
bebannya (beban pemeliharaannya)"6
Ditempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan
untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang memanfaatkan itu
berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW :
Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW :
“Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan susu
yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan orang yang
menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai.” (HR. Al-Bukhari)7
Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak,
sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban
rahin melunasi hutangnya8. Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil
langkah – langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat
dilakukan penyelesaian yang adil.
6 Masjfuk Zuhdi, Drs., Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989,
halaman 156.
7 Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, terjemahan Anshori Umar
Sitanggal dari Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1985, halaman 180.
8 Opcit, Kifayatul Akhyar, halaman 143
Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah
perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan
menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya.
Berita dari Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW., :
“ Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia
tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang “9.
Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya dan
tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka hakim/pengadilan dapat
memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual barangnya. Hasil penjualan
apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan
kepada pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik barang tetap harus menutup
kekurangannya10.
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang,
maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil
penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih
dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup
kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi
hutang almarhum pemilik barang11.
Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai
sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara
individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut
Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana
bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam bentuk alqardhul
hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan
sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih
qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal)
sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah12.
Didalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu
jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam
menanggung biaya yang secara nyata terjadi se[perti biata penyimpanan dll., dan
dibayarkan dalam bentuk uang (bukan prosentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo
tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian
hutangnya.
Apabila peminjam memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan
mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila
peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi
bagihasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.
9 Opcit, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam, halaman 180.
10 Opcit,Masail Fiqhiyah, halaman 156.
11 Opcit, Kifayatul Akhyar, halaman 144.
12 Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-hadits
Pilihan tentang Ekonomi), PT. Bank Muamalat Indonesia, Jakarta, 1996, halaman 179-184.
Dalam kaitannya dengan keperluan komersial, tentunya peminjam bukanlah orang
miskin karena dia mempunyai simpanan dalam bentuk harta tiak produktif (hoarding)
yang dapat digadaikan. Dengan demikian fungsi dari gadai disini adalah mencairkan atau
memproduktifkan (dishoarding) harta yang beku.
Dari uraian tersebut diatas, tidak tersurat sedikitpun uraian tentang lembaga gadai
syariah sebagai perusahaan, mungkin karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum ada
lembaga gadai sebagai suatu perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada lembaga hutang
piutang syariah yang pada mulanya hanya menyangkut hubungan antar pribadi kemudian
berkembang menjadi hubungan antara pribadi dengan bank.
Pengembangan hubungan antar pribadi menjadi hubungan antara pribadi dengan
suatu bentuk perusahaan tentu membawa konsekuensi yang luas dan menyangkut
berbagai aspek. Namun hendaknya tetap dipahami bahwa lembaga gadai adalah
pelengkap dari lembaga hutang piutang. Hal ini juga mengandung arti bahwa hukum
gadai dalam keadaan normal tidak merubah status kepemilikan. Baru apabila terjadi
keadaan yang tidak normal, misalnya rahin pada saat jatuh tempo tidak mampu melunasi
hutangnya maka bisa terjadi peristiwa penyitaan dan lelang oleh pejabat yang berwenang.
Keadaan tidak normal ini bisa merubah status kepemilikan sehingga berkembang menjadi
jual beli tunai (tijari), jual beli tangguh bayar (murabaha), dan jual beli dengan
pembayaran angsuran (baiu bithaman ajil).
Bagaimana konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak
berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang
tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka
perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan, dan hubungan
dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal
sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai
mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu
diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan,
aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek
pengawasan, dan lain-lain.
3. Operasionalisasi Lembaga Gadai Syariah.
Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai
syariah untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melakukan
perjanjian hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang
piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana pada bentuk ini
tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial. Gadai yang
melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan biaya
apapun diatas pokok pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk
syahnya suatu perjanjian hutang. Dalam hal ini biaya – biaya seperti materai dan akte
notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama
apapun tidak sesuai dengan prinsip syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam
perjanjian hutang piutang secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul
hassan sangat dianjurkan dalam islam lebih utama daripada memberikan infaq.
Hal ini menurut Khan karena infaq menimbulkan masalah kehormatan diri pada
peminjam dan mengurangi dorongan dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya
diperlukan dalam kasus – kasus dimana pengembalian hutang tidak mungkin dilakukan.
Dengan demikian al – Qardhul hassan adalah lembaga bersaudara dengan infaq13.
Tanggung jawab ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW, Kelurahan, bahkan sampai
kepada negara.
Perjanjian hutang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil. Dalam hal
perjanjian hutang piutang ini untuk keperluan komersiil, maka biasanya kelengkapan
gadai yang cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan
bahwa sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yang miskin tetapi orang yang
mempunyai sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk
kepentingan ini adalah melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk
al-qardhul hassan atau melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk
mudharabah.
a. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan.
Apabila pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentuk qardhul
hassan, maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba
membuka usaha. Pengusaha lamapun bisa memilih pinjaman gadai dalam bentuk
qardhul hassan apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan lagi. Perjanjian
hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan adalah perjanjian yang
terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan satu
samalain secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban
diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya
perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang
gadaiannya. Apabila terjadi perbedan pendapat, maka p3erbedaan pendapat itu dapat
diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya – biaya yang nyata –
nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan
biaya akte notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin
ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) di
bank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang dikenakan14.
b. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Seorang peminjam dan pemberi pinjaman dapat memilih pinjaman gadai dalam
bentuk mudharabah, apabila kedua belah pihak telah menghitung bahwa usaha yang akan
13 Ibid, Ajaran Nabi Muhammad saw tentang Ekonomi, halaman 182-183
14 Mengambil keuntungan pada jual beli uang yang berlaku sebagai alat tukar yang sah atau mengenakan
sewa atas modal uang yang berlaku sebagai alat tukar yang sah sering dipergunakan untuk menutupi kata
bunga.
dijalankan layak dan secara ekonomis akan menguntungkan. Perjanjian hutang piutang
dengan gadai dalam bentuk mudharabah adalah perjanjian yang mempertemukan antara
pengusaha yang ahli dalam bidangnya tetapi hanya mempunyai harta tidak lancar dengan
pihak lain yang mempunyai cukup dana tetapi tidak mempunyai bidang usaha. Kedua
pihak kemudian sepakat untuk pihak peminjam menjalankan usaha sedang pihak pemberi
pinjaman hanya memberikan dana yang diperlukan tanpa campur tangan dalam usaha itu
dengan agunan barang gadai. Keduanya juga sepakat pada suatu porsi bagi hasil tertentu
dari usaha yang dijalankan pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan
dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama
dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila
terjadi perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui
arbitrasi atau pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya – biaya yang nyata
– nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan
biaya akte notaris, juga biaya – biaya usaha yang layak selain itu untuk keutuhan dan
pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat
penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang
apapun namanya juga dilarang dikenakan15.
Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank
syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat
dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan
sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB), dll.
Sebagaimana halnya dengan lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi,
lebaga syariah untuk hubungan antara pribadi dengan bank syariah juga mempunyai dua
bentuk, yaitu perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Operasionalsasi kedua bentuk tersebut sama dengan operasionalisasi lembaga gadai
syariah pada hubungan antar pribadi tersebut diatas.
Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa lembaga gadai syariah pada
perbankan syariah adalah hal yang lazim ada. Karena adanya hambatan hukum positif
yang kita warisi dari pemerintahan kolonial, menyebabkan bank sekarang ini tidak
diperkenankan menerima agunan dan menyimpan gadai barang bergerak. Namun
menurut berita dalam praktek banyak bank – bank terutama yang berkantor diwilayah
kecamatan yang melakukan praktek menerima gadai barang bergerak terutama dalam
bentuk perhiasan.
Pemisahan jenis barang gadai inilah yang menyebabkan adanya jawatan yang
khusus didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pinjaman gadai barang
bergerak. Tujuan semula dari jawatan ini adalah semata – mata untuk membantu
masyarakat yang membutuhkan kredit kecil. Modal jawatan untuk operasional dan
pengembangan semula dipasok dari anggaran negara sehingga misi utamanya adalah
15 ibid
sosial. Tujuan mencari untung tidak ditonjolkan dan jawatan dinilai cukup baik apabila
hasil usahanya dapat menutup biaya (breakeven). Dengan misi sosial yang sesuai dengan
misi al-qardhul hassan pada gadai syariah, maka perlu dicari dan dipertahankan bentuk
badan usaha yang cocok. Sesuai dengan panduan syariah perusahaan dapat saja
mendapatkan keuntungan yang besar tetapi hanya mungkin apabila dana yang tersedia
disalurkan dalam perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Karena gadai dalam hukum islam adalah merupakan pelengkap dari hubungan
hutang-piutang, maka operasionalisasi gadai syariah pada perusahaan bank syariah sudah
berjalan walaupun perlu penyempurnaan. Sedang pada perusahaan pegadaian yang sudah
ada hanya dimungkinkan apabila ada pemahaman kemauan yang kuat dari pimpinan dan
seluruh jajarannya untuk menerapkan perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk alqardhul
hassan dan al-mudharabah. Sumber-sumber modal tentu tidak lagi dicari dari
bank yang memungut bunga dan obligasi yang dijual kepada masyarakatpun tidak dengan
sistem bunga tetapi dengan sistem bagihasil.
Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk
perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan
yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini
perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain : aspek legalitas, aspek permodalan, aspek
sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek
pengawasan, dan lain-lain.
a. Aspek Legalitas
Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin
Pemerintah. Namun sesuai dengan Peraturan pemerintah no. 10 tahun 1990 tentang
pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Peusahaan Umum
(PERUM) Pegadaian16, pasal 3 ayat (1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah
badan usaha tunggal yang diberi wewenang unutk menyalurkan uang pinjaman atas dasar
hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain pada
pasal 5 ayat (2)b, yaitu pencegahan praktek ijon, riba17, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Dari misi Perum Pegadaian tersebut, umat Islam mempunyai dua pilihan, yaitu :
(1). Membantu Perum Pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga gadai yang
sesuai dengan prinsip syriat Islam yang tidak menerapkan sistem bunga atau yang
serupa dengan itu baik dalam mencari modal maupun dalam menyalurkan pinjaman.
Apabila sumbangan pemikiran umat Islam ini sulit dilaksanakan, umat Islam
mempunyai pilihan kedua;
(2). Membantu Perum Pegadaian menghilangkan beban moral dengan mengusulkan
perubahan PP no. 10 tahun 1990 yaitu menghapus kata “riba” pada pasal 5 ayat (2)b,
dan kata-kata “badan usaha tunggal” pada pasal 3 ayat (1)a. Dengan usul yang kedua
ini maka umat Islam mempunyai peluang untuk berdirinya suatu lembaga gadai
dalam bentuk perusahaan yag dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat
Islam.
16 Prospektus Perum Pegadaian, Jakarta, 16 Juni 1993, halaman 96-97.
17 Pengertian riba pada makalah ini menganut pengertian yang sama dengan pengertian yang menjadi latar
belakang berdirinya bank-bank Islam di seluruh dunia. Termasuk bunga bank dan bunga obligasi dalam
pengertian ini adalah riba.
Sebenarnya akan lebih baik apabila Perum Pegadaian dapat menerima pilihan
pertama, karena akan lebih mudah bagi umat Islam untuk mewujudkan keinginannya.
Penyesuaian untuk betul-betul menjadikan Perum Pegadaian perusahaan gadai yang
sesuai dengan misinya sebenarnya tidak terlalu sulit. Kebutuhan tambahan modal untuk
operasional barangkali bisa dipasok dari bank syariah yang sudah ada baik dalam dan
luar negeri. Pinjaman obligasi dari masyarakat mungkin juga bisa dibuatkan model yang
sesuai dengan prinsip syariat Islam.
Namun andaikata Pemerintah dapat melepaskan status monopoli Perum Pegadaian
karena telah berubah misinya, maka perusahaan gadai syariah yang diharapkan dapat
diberi izin berdiri tentunya adalah perusahaan yang persyaratan modalnya cukup besar.
Kantor pusatnya hanya boleh didirikan di ibu kota Propinsi dan baru boleh membuka
cabang apabila telah mendapat penilaian sehat dari instansi yang berwenang. Masyarakat
tentunya tidak menghendaki terlalu banyaknya perusahaan gadai kecil-kecil milik
keluarga seperti buka warung, karena perusahaan gadai menyangkut kepentingan rakyat
banyak yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan pemerintah. Karena dalam
ketentuan syariah tidak dilarang mencari keuntungan melalui sistem bagihasil
mudharabah, bentuk yang paling cocok untuk suatu perusahaan gadai syariah adalah
Perseroan Terbatas.
b. Aspek Permodalan
Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk
perusahaan yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek penting
lainnya yang perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk menjalankan perusahaan
gadai cukup besar karena selain diperlukan dana untuk dipinjamkan kepada nasabah juga
diperlukan investasi untuk tempat penyimpanan barang gadaian.
Dengan asumsi bentuk perusahaan gadai syariah yang dikehendaki adalah perseroan
terbatas, maka perlu diupayakan saham yang dijual kepada masyarakat dalam pecahan
yang terjangkau lapisan masyarakat sehingga saham dapat dimiliki secara luas. Ada
kemungkinan pemegang saham perusahaan gadai syariah melebihi jumlah minimum
sehingga perlu didaftarkan kepada BAPEPAM sebagai perusahaan publik.
c. Aspek Sumber Daya Manusia
Suatu perusahaan gadai hanya akan mampu bertahan dan berjalan dengan mantap
apabila nilai barang yang dijadikan agunan cukup untuk menutup hutang yang diminta
oleh pemilik barang. Untuk menilai suatu barang gadaian apakah dapat menutup jumlah
pinjaman tidaklah mudah. Apalagi jenis barang yang mungkin dijadikan agunan gadai
sangat beraneka ragam. Belum lagi dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat
mejadikan suatu barang lebih cepat ketinggalan jaman. Untuk dapat sedikit meyakini
nilai suatu barang gadaian diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan naluri yang kuat.
Dengan kualitas sumber daya manusia yang menangani penaksiran barang gadaian sangat
menentukan keberhasilan suatu perusahaan gadai.
Penaksir gadaian adalah ujung tombak operasional perusahaan gadai, oleh karena itu
mereka perlu di didik, dilatih, dan digembleng pengetahuan dan ketrampilannya.
Diperlukan waktu yang cukup untuk melatih mereka. Selain penaksir barang, pada
perusahaan gadai syariah diperlukan juga analis kelayakan usaha yang andal untuk
menilai usaha yang diajukan pada perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk
mudharabah. Analis kelayakan usaha yang andal adalah tumpuan harapan bagi
perusahaan gadai syariah untuk memperoleh bagihasil yang memadai. Unutk juru taksir,
pada tahap awal barangkali perlu dipekerjakan kembali para pensiunan penaksir Perum
Pegadaian. Kemudian unutk para analis kelayakan usaha diperlukan tenaga-tenaga
sarjana yang berpengalamanminimal 2 taun. Calon-calon manajerpun perlu sipersiapkan
untuk pimpinan pusat maupun cabang.
d. Aspek Kelembagaan
Perusahaan gadai syariah membawa misi syiar Islam, oleh karena itu harus dapat
diyakini bahwa seluruh proses operasional dilakukan tidak meyimpang dari prinsip
syariat Islam. Proses operasional mulai dari mobilisasi dana untuk modal dasar sampai
kepada penyalurannya kepada masyarakat tidak boleh mengandung unsur-unsur riba.
Usaha-usaha yang akan dibiayai dari pinjaman gadai syariah adalah usaha-usaha yang
tidak dilarang dalam agama Islam.
Untuk meyakini tidak adanya penyimpangan terhadap ketentuan syariah diperlukan
adana suatu dewan pengawas yang lazimnya disebut Dewan Pengawas Syariah yang
selalu memonitor kegiatan perusahaan. Oleh karena itu organisasi perusahaan gadai
syariah sangat unik karena harus melibatkan unsur ulama yang cukup dikenal oleh
masyarakat setempat.
e. Aspek Sistem dan Prosedur
Menyandang nama syariah pada kegiatan hutang piutang gadai membawa konsekuensi
haraus efektif dan efisiensinya kegiatan operasional perusahaan gadai syariah. Oleh
karena itu sistem dan prosedur harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak meyulitkan
calon nasabah yang akan meminjamkan uang baik dalam perjanjian hutang piutang gadai
dalam bentuk al-qardhul hassan maupun hutang-piutang gadai dalam bentuk almudharabah.
Loket-loket dipisahkan antara yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai
dalam bentuk al-qardhul hassan dan yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang
gadai dalam bentuk al-mudharabah, namun harus dibuat fleksibel sedemikian rupa
sehingga terhindar adanya antrian panjang. Biasanya mereka yang ingin memasuki
perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-mudharabah adalah peminjam dalam
jumlah besar.
f. Aspek Pengawasan
Aspek pengawasan dari suatu perusahaan gadai syariah adalah sangat penting karena
dalam pengertian pengawasan itu termasuk didalamnya pengawasan oleh Yang Maha
Kuasa melalui malaikat-Nya. Oleh karena itu organ pengawasan internal perusahaan
yang disebut Satuan Pengawasan Intern (SPI) adalah merupakan pelaksanaan amanah.
Tanggung jawab organ pengawasan termasuk para pimpinan unit tidak hanya kepada
Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi juga harus dapat
mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah SWT dihari akhir kelak. Termasuk
dalam organ pengawasan adalah Dewan Pengawasan Syariah yang terdiri dari para ulama
yang cukup dikenal masyarakat.
4. Prospek Pegadaian Syariah
Dengan asumsi bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya perusahaan gadai syariah
maka yang dikehendaki adalah perusahaan yang cukup besar yaitu yang mempunyai
persyaratan dua kali modal disetor setara dengan perusahaan asuransi18 (minimum dua
kali lima belas milyar rupiah atau sama dengan tiga puluh milyar rupiah), maka untuk
mendirikan perusahaan seperti ini perlu pengkajian kelayakan usaha yang hati-hati dan
aman.
Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang disebut
SWOT atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya (Weakness), peluangnya
(Oportunity), dan ancamannya (Threat) , sebagai berikut :
a. Kekuatan (Strength) dari sistem gadai syariah.
(1). Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.
Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islam di Indonesia,
bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan
besarnya harapan dan dukungan umat Islam terhadap adanya pegadaian syariah.
(2). Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.
Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam
adalah sangat penting untuk menghindarkan umat Islam dari kemungkinan
terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke 2 Menterimenteri
Luar Negeri negara muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di
Karachi, Pakistan telah sepakat untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic
Development Bank (IDB) yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah Islam. IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974
dimana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada Articles of
Agreement-nya pasal 2 ayat XI akan membantu berdirinya bank dan lembaga
keuangan yang akan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam di
negara-negara anggotanya19. Beberapa bank Islam yang berskala internasional
telah datang ke Indonesia untuk menjajagi kemungkinan membuka lembaga
keuangan syariah secara patungan. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan
dukungan lembaga keuangan internasional terhadap adanya lembaga keuangan
syariah di Indonesia.
(3). Pemberian pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan
sistem bagihasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan
pembangunan.
(a). Penyediaan pinjaman murah bebas bunga disebut al-qardhul hassan adalah
jenis pinjaman lunak yang diperlukan masyarakat saat ini mengingat semakin
tingginya tingkat bunga.
18 Penyetaraannya dengan perusahaan asuransi karena pada usaha gadai tidak diperkenankan menghimpun
dana masyarakat dalam bentuk simpanan (giro, tabungan, deposito). Selain daripada itu perusahaan
asuransi juga mmeberikan pinjaman kepada pemegang polis dengan agunan polis.
19 Agreement Establishing the Islamic Development Bank, Dar Alasfahani Printing Press, Jeddah, 12
Agustus 1994, hal. 6.
(b). Penyediaan pinjaman mudharabah mendorong terjalinnya kebersamaan antara
pegadaian dan nasabahnya dalam menghadapi resiko usaha dan membagi
keuntungan / kerugian secara adil.
(c). Pada pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya tidak akan
membebani nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang berada diluar
jangkauannya. Nasabah hanya diwajibkan membagihasil usahanya sesuai
dengan perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya. Bagihasil kecil kalau
keuntungan usahanya kecil dan bagihasil besar kalau hasil usahanya besar.
(d). Investasi yang dilakukan nasabah pinjaman mudharabah tidak tergantung
kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya
bunga pinjaman) yang harus diperhitungkan.
(e). Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh
gejolak moneter baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan
operasional bank ini tidak menggunakan perangkat bunga.
Dengan mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua
untuk terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem
ini.
b. Kelemahan (weakness) dari sistem mudharabah.
(1). Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang
yang terlibat dalam perjanjian bagihasil adalah jujur dapat menjadi bumerang
karena pegadaian syariah akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang
beritikad tidak baik. Contoh : Pinjaman mudharabah ang diberikan dengan sistem
bagihasil akan sangat bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya.
Bisa saja terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Misalnya suatu usaha yang untung dilaporkan rugi
sehingga pegadaian tidak memperoleh bagian laba.
(2). Memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung
biaya yang dibolehkan dan bagian laba nasabah yang kecil-kecil. Dengan
demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bisa terjadi sehingga diperlukan
kecermatan yang lebih besar.
(3). Karena membawa misi bagihasil yang adil, maka pegadaian syariah lebi banyak
memerlukan tenaga-tenaga profesional yang andal. Kekeliruan dalam menilai
kelayakan proyek yang akan dibiayai dengan sistem bagihasil mungkin akan
membawa akibat yang lebih berat daripada yang dihadapi dengan cara
konvensional yang hasl pendapatannya sudah tetap dari bunga.
(4). Karena pegadaian syariah belum dioperasikan di Indonesia, maka kemungkinan
disana-sini masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan
dan pengawasannya. Masalah adaptasi sistem pembukuan dan akuntansi
pegadaian syariah terhadap sistem pembukuan dan akuntansi yang telah baku,
tremasuk hal yang perlu dibahas dan diperoleh kesepakatan bersama.
Dengan mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiban kita semua
untuk memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.
c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah
Bagaimana peluang dapat didirikannya pegadaian syariah dan kemungkinannya untuk
tumbuh dan berkembang di Indonesia dapat dilihat dari pelbagai pertimbangan yang
membentuk peluang-peluang dibawah ini :
(1). Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama
(a). Adalah merupakan hal yang nyata didalam masyarakat Indonesia khususnya
yang beragama Islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima
dan/atau membayar bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena
riba dalam agama Islam jelas-jelas dilarang maka masih banyak masyarakat
Islam yang tidak mau memanfaatkan jasa pegadaian yang telah ada sekarang.
(b). Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembagunan di
sektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondokpondok
pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, baitul-mal, dan
sebagainya yang belum memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.
(c). Sistem pengenaan biaya uang / sewa modal dalam sistem pegadaian yang
berlaku sekarang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur yang tidak sejalan
dengan syariah Islam, yaitu antara lain :
• Biaya ditetapkan dimuka secara pasti (fixed), dianggap mendahului takdir
karena seolah-olah peminjam uang dipastikan akan memperoleh
keuntungan sehingga mampu membayar pokok pinjaman dan bunganya
pada waktu yang telah ditetapkan (periksa surat Luqman ayat 34).
• Biaya ditetapkan dalam bentuk prosentase (%) sehingga apabila dipadukan
dengan unsur ketidakpastian yang dihadapi manusia, secara matematis
dengan berjalannya waktu akan bisa menjadikan hutang berlipat ganda
(periksa surat Al-Imron ayat 130).
• Memperdagangkan / menyewakan barang yang sama dan sejenis
(misalnya rupiah dengan rupiah yang masih berlaku, dll) dengan
memperoleh keuntungan/kelebihan kualitas dan kuantitas, hukumnya
adalah riba (periksa terjemah Hadits Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud,
bab Riba no. 1551 s/d 1567).
• Membayar hutang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti
yang dicontohkan dalam Al-Hadits, harus ada dasar sukarela dan
inisiatifnya harus datang dari yang punya hutang pada waktu jatuh tempo,
bukan karena ditetapkan dimuka dan dalam jumlah yang pasti (fixed)
(periksa terjemah Hadis Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no.
1569 s/d 1572)
Unsur-unsur yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islam tersebut
diataslah yng ingin dihindari dalam mengelola pegadaian syariah.
(2). Adanya peluang ekonomi dabi berkembangnya pegadaian syariah
(a). Selama Repelita VI diperlukan pembiayaan pembangunan yang seluruhnya
diperkirakan akan mencapai jumlah yang sangat besar. Dari jumlah tersebut
diharpkan sebagian besar dapat disediakan dari tabungan dalam negeri dan
dari dana luar negeri sebagai pelengkap saja. Dari tabungan dalam negeri
diharapkan dapat dibentuk melalui tabungan pemerintah yang kemampuannya
semakin kecil dibandingkan melalui tabungan masyarakat yang melalui sektor
perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
(b). Mengingat demikian besarnya peranan yang diharapkan dari tabungan
masyarakat melalui sektor perbankan maka perlu dicarikan berbagai jalan dan
peluang untuk mengerahkan dana dari masyarakat. Pegadaian berfungsi
mencairkan (dishoarding) simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang
tidak produktif yang kemudian diinvestasikan melalui mekanisme pinjaman
mudharabah.
(c). Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari
ketentuan yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di
Indonesia. Iklim baru ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga
keuangan khususnya IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak
di Timur Tengah.
(d). Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan
perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi resiko usaha
dan membagi hasil usaha, akan memberikan sumbangan yang besar kepada
perekonomian Indonesia khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan
kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat pegadaian syariah
adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka perusahaan gadai dnegan
sistem ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di
Indonesia. Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum
yang berlaku, peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup
besar.
d. Ancaman (threat) dari pegadaian syariah
Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya pegadaian
syariah itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang
akan menghalangi berkembangnya pegadaian syariah ini semata-mata hanya karena
tidak suka apabila umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka
tidak mau tahu bahwa pegadaian syariah itu jelas-jelas bermanfaat untuk semua orang
tanpa pandang suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial, eksklusivisme atau
sara mungkin akan ilontarkan untuk mencegah berdirinya pegadaian syariah.
Ancaman berikutnya adalah dari mereka yang merasa terusik kenikmatannya
mengeruk kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian terbesar beragama Islam
melalaui sistem bunga yang sudah ada. Munculnya pegadaian syariah yang menuntut
pemerataan pendapatan yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman
terhadap status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang
ketidakcocokan dengan sistem internasional berlaku di seluruh dunia mungkin akan
dilontarkan untuk mencegah berkembangnya di tengah-tengah mereka pegadaian
syariah.
Dengan mengenali ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya pegadaian syariah
ini maka diharapkan para cendekiawan muslim dapat berjaga-jaga dan mengupayakan
penangkalnya.
Dari analisa SWOT tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pegadaian syariah
mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum Pegadaian yang telah
mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan
lebih cerah lagi apabila kelemahan (weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan
ancaman (threat) dapat diatasi.
5. Kesimpulan
a. Pemikiran tentang berdirinya pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman Islam dan telah
diijinkannya oleh Pemerintah berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi
sesuai dengan prinsip syariat Islam.
b. Pegadaian syariah mempunyai landasan hukum syariat yang kuat dalam ajaran Islam.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya
akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan
pemilikan barang gadai.
c. Barang gadaian syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang
piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat
adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih
tepat adalah al-qardhul hassan.
d. Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat
dipergunakan unutk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua
pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau
penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
e. Untuk nasabah yang memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah maka fungsi
gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta beku
(hoarding) yang tidak produktif.
f. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal
sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai
mudharib tergantung alternatif yang dipilih.
g. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sebenarnya sudah operasional
karena setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai syariah.
h. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank
syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang
dapat dikemukakan disini adalah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan
agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.
i. Aspek-aspek penting yag perlu diperhatikan untuk mendirikan lembaga gadai
perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia,
aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dll.
j. Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin
Pemerintah. Namun sesuai dengan PP no. 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk
Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM)
Pegadaian, pasal 3 ayat (1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan
usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar
hukum gadai.
k. Misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain pada pasal 5 ayat (2)b yaitu
pencegahan ijon, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dari misi Perum Pegadaian
tersebut maka umat Islam mempunyai dua pilihan yaitu :
(3). Membantu Perum Pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga gadai yang
sesuai dengan prinsip syriat Islam yang tidak menerapkan sistem bunga atau yang
serupa dengan itu baik dalam mencari modal maupun dalam menyalurkan pinjaman.
(4). Membantu Perum Pegadaian menghilangkan beban moral dengan mengusulkan
perubahan PP no. 10 tahun 1990 yaitu menghapus kata “riba” pada pasal 5 ayat (2)b,
dan kata-kata “badan usaha tunggal” pada pasal 3 ayat (1)a.
l. Dengan analisa SWOT dapat disimpulkan bahwa prospek pegadaian syariah adalah
sangat cerah, baik itu untuk Perum Pegadaian yang telah menerapkan sistem syariah
maupun untuk pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan lebih cerah lagi apabila
kelemahan (weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan ancaman (threat)
dapat diatasi.
Daftar Pustaka
Al Qur’an dan terjemahnya, Mujamma’ Khadim al Haramin asy Syarifain al Malik
Fahd li thiba’at al Mush-haf-asy-Syarif, Medinah Munawwarah, 1413 H.
Agreement Establishing The Islamic Development Bank, Dar Alasfahani Printing
Press, Jeddah, 12 Agustus 1994.
Prospektus Perum Pegadaian, Jakarta 16 Juni 1993.
Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi
(Kumpulan Hadits-hadits Pilihan Tentang Ekonomi), PT. Bank Muamalat Indonesia,
Jakarta, 1996.
Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam,
terjemahan Anshori Umar Sitangal dari Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam,
Al-Ma’arif, Bandung, 1985.
Masjfuk Zuhdi, Drs., Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, CV. Haji
Masagung, Jakarta, 1989.
H. Abdul Malik Idris, Drs., dan H. Abu Ahmadi, Drs., Kifayatul Akhyar, Terjemahan
Ringkas FIQIH ISLAM LENGKAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
H. Chaeruddin Pasaribu, Drs., dan Suhrawardi K. Lubis, SH., Hukum Perjanjian
dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 12, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1988.

No comments:

Post a Comment