Sunday 6 January 2013

ZAKAT DAN POLA KONSUMSI YANG ISLAMI


Oleh : Mulya E. Siregar
• Penulis adalah Peneliti Bank Senior, Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah, Biro Penelitian
Perbankan, Bank Indonesia, namun pendapat penulis dalam makalah ini bukan mencerminkan pendapat
lembaga tempat beliau bekerja.
Email: mulya7@yahoo.com atau msiregar@bi.go.id
Salah satu pernyataan mantan presiden dalam pembukaan Musyawarah Kerja Nasional
I Lembaga Pengelolaan ZIS-Forum Zakat pada bulan Januari tahun silam adalah:
“Lembaga-lembaga itu masih perlu berusaha untuk menyadarkan umat Islam tentang
kewajibannya menunaikan zakat serta memberikan infak dan sedekah.” Sejalan dengan
pernyataan tersebut memang harus diakui bahwa sebagian besar umat cenderung hanya
bersedia mengeluarkan zakat fitrah, infak dan sadakah, sedangkan kesadaran untuk
mengeluarkan zakat mal belum membudaya bagi masyarakat di Indonesia. Keadaan ini
terjadi diduga karena pola konsumsi umat di Indonesia belum Islami. Pola konsumsi
masih menggunakan pola yang dikembangkan oleh Pareto bahwa manusia dalam
memaksimisasikan konsumsinya hanya berdasarkan kepentingan dunia tanpa
mempertimbangkan kepentingan akhirat. Sejanjutnya mantan presiden berpendapat
perlu dikaji kemungkinan dana zakat untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS). Masalahnya
dana zakat akan disalurkan pada program JPS yang mana, apakah pada program yang
memberi “kail” atau” ikan.”?
I. Pendahuluan
Setiap kali kali memasuki bulan Ramadhan yang suci, umat diingatkan kembali
akan tiga kewajiban yang tercantum dalam rukun Islam yang lima. Pada bulan Ramadhan,
umumnya ibadah sholat akan meningkat, dan umat menjalankan ibadah puasa yang
diperuntukkan bagi Allah SWT. Selanjutnya pada bulan Ramadhan, umat diingatkan akan
kewajiban mengeluarkan zakat fitrah / mal yang biasanya dilaksanakan setiap tahun pada
bulan Ramadhan yang penuh rahmah dan maghfirah.
Sangat disayangkan, kesediaan umat Islam mengeluarkan zakat umumnya masih
terbatas pada zakat fitrah, karena sebagian umat masih enggan untuk menyisihkan harta
yang bukan haknya. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa zakat mal identik
dengan pajak, sehingga kalau sudah bayar pajak, apa perlunya kita harus mengeluarkan
zakat. Pendapat lain menyatakan bahwa ada keengganan mengeluarkan zakat karena akan
memberatkan/membebani keuangan rumah-tangga, apalagi dalam keadaan krisis moneter
seperti yang terjadi saat ini. Zakat mal masih dilihat sebagai sebuah beban atau bahkan
sebagai pengeluaran yang sia-sia, bukan sebagai suatu pengeluaran konsumsi yang akan
memberikan kepuasan atau utilities.
Pada kesempatan ini, penulis mencoba membahas zakat mal dan hubungannya
dengan pola konsumsi yang Islami guna memperjelas kedudukan zakat dalam rumah2
tangga Muslim. Diharapkan melalui makalah ini, kita semua dapat menyadari bahwa
zakat bukanlah sebagai sebuah beban, melainkan sebagai sebuah pengeluaran konsumsi
yang dapat memberikan kepuasan, sehingga masyarakat Muslim akan lebih bijaksana
dalam meng-alokasikan anggaran rumah-tangganya, khususnya pada masa krisis sekarang
ini. Makalah ini diawali dengan pembahasan mengenai pengertian zakat pada bagian
kedua dan dilanjuti dengan pembahasan mengenai kedudukan rumah tangga sebagai unit
konsumer pada bagian ketiga. Selanjutnya, bagian keempat membahas pola konsumsi
yang Islami dan diakhiri dengan kesimpulan dan saran pada bagian kelima.
II. Pengertian Zakat
Zakat seperti tertulis dalam surat At Taubah ayat 103 mengandung pengertian
bahwa setiap Muslim yang mempunyai harta benda yang telah cukup nisab wajib
membersihkan harta bendanya dengan memberikan sebahagian hartanya kepada orangorang
yang berhak. Berdasarkan surat At Taubah ayat 60 ada delapan golongan umat
yang berhak menerima zakat, yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, rikab, ghorimin (orang
yang berhutang), fii sabilillah (orang yang berjuang karena Allah) dan ibni sabil (orang
yang dalam perantauan). Menurut Al-Shawkani (Saud, 1976) zakat secara linguistic
memiliki makna ganda yaitu pertumbuhan (growth) dan juga pembersihan
(purification). Makna yang pertama mengandung pengertian bahwa zakat akan
membawa pertumbuhan kekayaan (wealth) dan juga membawa pahala (reward) bagi
yang melakukannya. Secara singkat zakat tidak akan menurunkan kekayaan, sedangkan
makna yang kedua, zakat akan membersihkan jiwa manusia dari keinginan memiliki
kekayaan yang berlebihan.
Saud (1976) berpendapat bahwa zakat dikenakan pada semua kekayaan yang
memiliki nilai (market value). Menurut Saud fungsi zakat adalah satu cara untuk
mencegah penimbunan (hoarding) harta yang dapat mengakibatkan adanya idle
wealth. Sehingga dianjurkan untuk menempatkan resources-nya dalam bentuk aset
yang produktif yaitu dana yang ditempatkan di bank atau institusi yang dikontrol
pemerintah. Bila rumah-tangga melaksanakan hal ini, maka yang bersangkutan
dibebaskan dari zakat, karena resources yang dimiliki berputar terus di dalam
perekonomian yang dapat memberi manfaat bagi produser maupun konsumer.
Sedangkan Kahf (1976) dan Faridi (1976) berpendapat bahwa yang dikenakan
zakat adalah harta bersih atau networth atau harta setelah dikurangi kewajiban (aset
setelah dikurangi liabilities). Pada dasarnya Kahf dan Faridi melihat fungsi zakat sama
dengan yang diajukan oleh Saud, zakat diharapkan akan meningkatkan investasi atau
financial resourses / assets atau harta yang produktif. Bila seseorang menabung dalam
bentuk perhiasan / precious metal, tabungan ini tidak produktif, maka zakat secara berangsur-
angsur akan mengurangi net saving atau networth yang bersangkutan. Sehingga
zakat akan men-discourage seseorang untuk menimbun harta yang tidak produktif,
namun akan merangsang orang untuk memutarkan hartanya pada kegiatan produktif atau
menabung dalam bentuk harta yang produktif. Sehingga zakat akan merangsang orang
untuk giat bekerja, karena kalau tidak, lambat laun networthnya akan mengecil karena
dipergunakan untuk membayar zakat. Dengan giat bekerja dan mengkonsumsi secara
bijaksana akan menghasilkan pertumbuhan networth, sejalan dengan pendapat Al-
Shawkani bahwa zakat dapat memiliki arti pertumbuhan.
3
Dengan mempertimbangkan pendapat-pendapat tersebut dan dengan
perkembangan personal finance masyarakat di dunia barat maupun Islam yang
umumnya memiliki aset maupun liabilities secara bersamaan, maka tulisan ini akan
menggunakan pengertian bahwa zakat mal yang harus dikeluarkan berdasarkan networth
yang telah melampaui nisabnya. Selain dari pada itu networth lebih mencerminkan
tingkat kekayaan sebuah rumah tangga, dibandingkan bila tingkat kekayaan diukur
hanya dengan aset.
III. Kedudukan Rumah-tangga Sebagai Unit Konsumer
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh umat Islam
bila yang bersangkutan telah mampu melaksanakannya. Zakat adalah bagian dari
resources yang dimiliki oleh sebuah rumah-tangga (household) yang harus disisihkan
untuk kepentingan umat khususnya delapan golongan umat yang berhak menerimanya.
Dalam makalah ini, rumah-tangga meliputi single household, janda/duda dengan anak
dan married couple (dengan ataupun tanpa anak). Rumah-tangga merupakan salah satu
subyek ekonomi yang bersama-sama dengan pemerintah dan business sector (perusahaanperusahaan)
berperan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Setiap subyek
memiliki tujuan masing-masing, pemerintah bertujuan untuk memaksimisasikan wealth
of society, sedangkan perusahaan bertujuan untuk memaksimisasikan keuntungan dan
dilain pihak rumah-tangga memiliki tujuan memaksimisasikan utility atau satisfaction.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing subyek dalam mencapai tujuantujuan
tersebut dapat saling bertentangan sehingga kemaslahatan umat sulit untuk dicapai.
Sampai dengan periode pertengahan tahun 1960, sebuah rumah-tangga
cenderung dipandang hanya sebagai consumer unit. Pada pertengahan 1960 an
lahirnya theory of allocation of time yang diajukan oleh Gary Becker dari University of
Chicago menyadarkan masyarakat bahwa rumah-tangga tidak hanya sekedar consumer
unit tapi juga menjadi producer unit karena allocation of time yang dilakukan oleh
anggota rumah-tangga untuk bekerja di dalam maupun diluar rumah-tangga merupakan
production activities. Pekerjaan rumah-tangga atau household activities merupakan
kegiatan produksi didalam rumah tangga yang dapat mendatangkan penghematan
maupun earning, sedangkan pekerjaan diluar rumah-tangga merupakan kegiatan produksi
di labor market yang mendatangkan earning.
Pembahasan zakat dari sisi ekonomi rumah-tangga Muslim dalam makalah ini
hanya ditinjau dari sisi consumer unit atau unit konsumer dan makalah ini mencoba
membahas bagaimana sebuah rumah-tangga harus berprilaku dalam mencapai
kemaslahatan umat. Intinya adalah bagaimanakah sebuah rumah-tangga Muslim bertindak
memaksimisasikan utility-nya sebagai sebuah consumer unit dan pada saat yang
bersamaan memenuhi kewajibannya sebagai umat Islam untuk menyisihkan resources
yang dimiliki untuk kepentingan zakat.
IV. Pola Konsumsi Yang Islami
Dengan memperhatikan keterbatasan sumber pembiayaan, sebuah rumah-tangga
dalam memenuhi kebutuhannya dihadapkan dengan berbagai pilihan. Pilihan-pilihan ini
dapat berupa kombinasi tingkat konsumsi antara barang pertanian dan industri, atau
4
antara konsumsi saat ini dan saat mendatang. Kombinasi dari dua macam barang
(termasuk jasa) yang memberikan tingkat kepuasan yang sama digambarkan oleh Pareto
dalam kurva indiferensi (indifference curve), yaitu kurva yang berbentuk garis lengkung
yang mewakili kombinasi dari dua macam barang. Sedangkan keterbatasan sumber
pembiayaan diwakili oleh keterbatasan pendapatan digambarkan dalam garis anggaran
(budget line). Oleh karena itu pencapaian maksimum utility/kepuasan dari sebuah rumahtangga
tergantung bagaimana sebuah rumah-tangga menentukan pilihannya dengan
memperhatikan anggaran yang dimilikinya. Menurut Pareto, kepuasan maksimum akan
dicapai pada saat garis anggaran (A) bersinggungan dengan kurva indiferensi (I), dalam
hal ini pada titik E (Gambar: Kurva Indiferensi dan Garis Anggaran). Area dibawah garis
anggaran adalah feasible area atau area yang mewakili kombinasi-kombinasi kedua
barang yang dapat dicapai oleh sebuah rumah-tangga.
Dengan menggunakan kurva indiferensi yang dikembangkan oleh Pareto sebuah
rumah-tangga memenuhi kebutuhan akan barang-1 dan barang-2 dengan memperhatikan
anggaran yang dimilikinya. Berdasarkan Pareto, barang-1 dan barang-2 merupakan
barang-barang yang dibutuhkan oleh rumah-tangga saat ini pada waktu mereka hidup di
dunia fana tanpa mempertimbangkan kehidupan setelah mati (the hereafter). Sedangkan
bagi rumah-tangga Muslim, pencapaian maksimum utility, tidak hanya
mempertimbangkan barang-barang yang dikonsumsi saat ini dan langsung dirasakan saat
ini, namun juga mempertimbangkan konsumsi barang-barang saat ini yang dapat
dirasakan manfaatnya saat ini maupun dibelakang hari setelah mati. Oleh karena itu kurva
indiferensi dalam rumah-tangga Muslim merupakan kombinasi dari barang-1 (merupakan
barang-barang yang dikonsumsi saat ini dan manfaatnya dapat dirasakan sekarang
maupun dibelakang hari) dan barang-2 (merupakan barang yang dikonsumsi saat ini dan
juga dirasakan manfaatnya saat hidup di dunia ini). Dalam pembahasan ini pengertian
konsumsi tidak terbatas pada pengertian bahwa konsumsi sesuatu barang hanya untuk
kepentingan jangka pendek atau kenikmatan sesaat, namun konsumsi dalam makalah ini
juga dapat berarti investasi, yaitu kegiatan yang dapat membawa nilai tambah pada
kehidupan di dunia maupun di alam baqa.
Dalam melakukan kegiatan konsumsi sebuah rumah-tangga harus menentukan
skala prioritas berdasarkan jenis barang yang akan dikonsumsi. Al-Ghazali and Al-Shatibi
(Zarqa, 1976) berpendapat bahwa berdasarkan Al Qur’an dan Hadist ada tiga hierarkhi
kegiatan yang dilakukan umat Islam dalam mencapai utility yang diinginkan, yaitu
Necessities (kegiatan-kegiatan yang mengamankan berlangsungnya kegiatan keagamaan,
kehidupan, kebebasan berpikir, keturunan dan pencapaian kekayaan) Conveniences
(kegiatan-kegiatan yang memudahkan pelaksanaan kegiatan pertama) dan Refinements
(kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan asesori hidup). Dengan mengacu pada
penggolongan yang diajukan oleh kedua ulama tersebut, maka dalam tulisan ini jenis
barang-2 dibagi dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
21. Kebutuhan dasar atau basic needs / necessities yang menentukan kelangsungan hidup
manusia, seperti makanan, sandang dan perumahan.
22. Kebutuhan sekunder adalah barang-barang yang memudahkan kehidupan, tanpa
barang ini manusia masih dapat hidup, seperti pendidikan, mobil, komputer, dan lainlain.
5
23. Kebutuhan tertier adalah barang-barang yang merupakan asesori hidup seperti sound
system, compact disc dan lain-lain serta juga ketenteraman/kebahagiaan di hari tua.
Barang kebutuhan dasar (barang-21) merupakan sesuatu yang absolut dibutuhkan
oleh sebuah rumah-tangga, sedangkan penggolongan barang kebutuhan sekunder (barang-
22) dan kebutuhan tertier (barang-23) adalah relatif yang sangat tergantung dari
endowment yang dimiliki oleh sebuah rumah-tangga. Zarqa (1976) berpendapat bahwa
hidup ini adalah suatu ujian dimana kita umatnya dibekali (endowed) dengan berbagai
perbedaan seperti mental, physical ability, material, social environment, power,
knowledge, wealth dan lain-lain, sehingga setiap rumah-tangga berbeda dalam
menetapkan sebuah barang digolongkan pada barang-22 atau barang-23. Yang penting
adalah bagaimana sebuah rumah-tangga mempertanggung jawabkan endowment yang
dipinjamkan kepadanya pada hari pengadilan nanti.
Dalam mengkonsumsi ketiga jenis barang tersebut, sebuah rumah-tangga akan
mengikuti life-cycle hypothesis yang diajukan oleh Modigliani (Dornbusch and Fischer,
1984), bahwa sebuah rumah-tangga akan mengalokasikan anggarannya secara optimal
untuk konsumsi yang stabil (smooth consumption) selama hidup didunia ini. Sehingga
sebuah rumah-tangga dalam hal ini ayah dan atau ibu tidak akan mengalami kesulitan
konsumsi di hari tuanya. Dengan demikian sebuah rumah-tangga harus mengalokasikan
angggarannya tidak hanya untuk konsumsi saja, namun juga untuk tabungan atau saving.
Oleh karena itu sebuah rumah-tangga muda harus bersiap sejak dini untuk
mempersiapkan putera/puterinya menyongsong masa depan dan juga mempersiapkan hari
tua mereka sendiri. Maka pada awalnya, konsumsi sebuah rumah-tangga dititik beratkan
pada barang-21 disebabkan anggaran yang terbatas dari sebuah rumah-tangga muda
sehubungan dengan terbatasnya pendapatan yang diperoleh. Sebagai konsekwensi dari
terbatasnya pendapatan rumah-tangga muda, tingkat tabungan sebuah rumah-tangga
adalah rendah sehingga akumulasi aset tidaklah tinggi, yang berakibat rendahnya
networth.
Tingkat pendapatan awal sebuah rumah-tangga sangat ditentukan oleh alokasi
dana untuk investasi sumber daya manusia yang dilakukan oleh orangtuanya. Dalam hal
ini sampai seberapa jauh orangtua menanamkan dananya untuk kepentingan pendidikan
seorang anak. Sesuai dengan human capital investment theory, semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang akan memberikan tingkat pendapatan yang lebih baik pada
bidangnya. Investasi pada sumber-daya manusia tidak hanya dalam bentuk pendidikan,
namun juga dalam bentuk pengalaman kerja dan kesehatan. Dengan ketiga bentuk
investasi ini, diharapkan sebuah rumah-tangga dapat meningkatkan pendapatannya.
Selanjutnya dengan masa kerja/pengalaman, pendidikan tambahan selama bekerja dan
kondisi kesehatan yang terjaga akan memberikan kenaikan pendapatan bagi sebuah
rumah-tangga. Sehingga dapat juga mengkonsumsi barang-22 termasuk pendidikan bagi
putera-puteri. Sejalan dengan hal tersebut, akumulasi aset semakin besar yang dapat
memberikan peningkatan networth. Dan demikian seterusnya sebuah rumah-tangga
Muslim akan dapat juga mengkonsumsi barang-23 dengan semakin membaiknya tingkat
pendapatan. Selanjutnya dengan semakin tua dan menurunnya kesehatan dan
produktivitas, maka pendapatan akan menurun menjelang pensiun yang akhirnya
mencapai titik nol pada saat pensiun. Namun dengan adanya persiapan sejak dini, maka
akumulasi aset cukup besar sehingga networth sebuah rumah-tangga tua cukup untuk
6
mengamankan hari tuanya, yang akhirnya dapat menikmati ketenteraman dan
kebahagiaan di hari tua.
Selanjutnya life-cycle hypothesis, human capital investment theory dan kerangka
prioritas konsumsi tetap dipakai untuk menjelaskan bagaimana rumah-tangga Muslim
mengkonsumsi barang-1. Dalam tulisan ini jenis barang-1 disederhanakan dalam tiga
golongan yang berdasarkan rukun Islam, yaitu sebagai berikut:
11. Kebutuhan dasar bagi rumah-tangga Muslim, yaitu mengamankan syahadah, kegiatan
sholat dan puasa.
12. Kebutuhan sekunder bagi rumah-tangga Muslim adalah mengeluarkan zakat bagi
yang mampu.
13. Kebutuhan tertier adalah melaksanakan kegiatan haj bagi yang mampu.
Sebuah rumah-tangga Muslim pada awalnya mengalokasikan dananya untuk
kebutuhan-kebutuhan yang mendasar bagi rumah-tangga Muslim, yaitu mengamankan
syahadah, kegiatan sholat dan puasa (barang-11). Tanpa alokasi dana kepada barang-11
dapat mengancam ke Islaman individu-individu dalam rumah-tangga. Oleh karena itu
dengan alokasi dana pada barang-11 dapat mengamankan identitas sebuah rumah-tangga
Muslim. Kegiatan ini dapat berbentuk penyediaan pendidikan keagamaan bagi
putera/puteri sejak kecil. Utility dari konsumsi barang ini dapat dirasakan juga pada saat
hidup didunia dalam bentuk ketenangan dan kearifan bertindak dan secara bersamaan
seorang Muslim akan mendapatkan pahala dari kegiatan-kegiatan tersebut. Sebuah
rumah-tangga Muslim akan memperoleh akumulasi pahala yang dapat dinikmatinya
setelah mati.
Selanjutnya dengan meningkatnya pendapatan serta terakumulasinya aset dan
networth yang cukup nisab, maka sebuah rumah-tangga Muslim wajib untuk ber-zakat.
Sehingga sebagian dari networth harus dikeluarkan untuk kepentingan umat. Dengan
keyakinan yang dimiliki sebagai seorang Muslim, pengeluaran zakat (barang-12) tersebut
merupakan suatu kegiatan konsumsi yang memberi kepuasan bagi rumah-tangga Muslim
dan disaat bersamaan rumah-tangga ini menambah akumulasi pahala. Dengan pengertian
yang seperti ini, rumah-tangga Muslim tidak merasakan pengeluaran zakat sebagai beban,
karena pengeluaran ini seperti juga pengeluaran untuk konsumsi lainnya akan memberi
kepuasan bagi rumah-tangga. Akhirnya dengan semakin membaiknya pendapatan dan
networth, sebuah rumah-tangga yang telah mampu dengan sendirinya akan mengeluarkan
dana untuk mengkonsumsi kegiatan haj (barang-13) yang memberinya kepuasan dalam
bentuk ketenangan telah memenuhi rukun Islam yang lima. Pada saat bersamaan rumahtangga
ini pun menambah akumulasi pahala yang sangat bermanfaat bagi pencapaian
surga dalam kehidupan setelah mati.
Dengan pola konsumsi yang seperti dijelaskan diatas sebuah rumah-tangga
Muslim akan mencapai kepuasan maksimum dalam bentuk kebahagiaan didunia dan
akhirat. Pada awalnya sebuah rumah-tangga memfokuskan pengalokasian dana untuk
memenuhi kebutuhan barang-11 dan barang-21 yang optimal. Selanjutnya dengan
meningkatnya pendapatan dan mulai terakumulasinya networth, rumah-tangga akan
berusaha mencapai kombinasi yang optimal dari barang-11 dan barang-12 disatu sisi dan
barang-21 dan barang-22 disisi lain. Akhirnya adalah bagaimana rumah-tangga
mengkombinasikan barang11, barang-12 dan barang-13 yang pada dasarnya untuk
kepentingan akhirat dan barang-21, barang-22 dan barang-23 untuk kepentingan dunia.
7
Dengan pola konsumsi yang seperti ini, Insya Allah umat Islam terhindar dari
kerakusan yang hanya mementingkan kepuasan didunia. Pada dasarnya resources
merupakan amanah dari Allah yang pemanfaatannya harus efisien dan adil. Berdasarkan
nilai-nilai Islam, resources harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan
investasi yang produktif, sama sekali bukan untuk conspicuous consumption,
pengeluaran-pengeluaran non-produktif dan spekulatif. Inilah yang kita temui di negaranegara
barat, bahwa maksimisasi utility hanya ditinjau dari satu sisi, yaitu kepentingan
dunia. Pola konsumsi barat yang seperti ini yang menggiring manusia hanya sebagai
homo economicus, yaitu manusia yang mementingkan diri sendiri (selfish) dan ingin
memiliki segalanya (acquisitive). Yang pada akhirnya konsumsi yang dilakukan berlebih-
lebihan atau extravagance sehingga tidak memberikan peningkatan social welfare
bagi masyarakat. Inilah yang dikatakan Al-Ghazali dan Al-Shatibi sebagai mafasid atau
disutilities, yaitu kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan peningkatan social welfare.
Sedangkan dengan pola konsumsi yang Islami dapat memberikan masalih atau utilities
karena pola ini memasukkan zakat sebagai kegiatan konsumsi yang dapat memberikan
kepuasan disatu sisi, dan merangsang orang untuk giat bekerja disisi lain yang pada
gilirannya akan menghasilkan peningkatan social welfare masyarakat.
Bila rumah-tangga Muslim telah menyadari sepenuhnya bahwa pengeluaran zakat
merupakan bagian dari kegiatan konsumsi untuk mencapai maksimum utility, maka
masalahnya sekarang bagaimana mengalokasikan zakat yang terkumpul. Dengan
memperhatikan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pola konsumsi yang
Islami ini sangat tergantung pada perencanaan sejak dini dalam bentuk persiapanpersiapan
human capital investment guna mengantisipasi life-cycle hypothesis, bahwa
suatu saat orang akan menjadi tua dan tidak produktif. Persiapan-persiapan tersebut
adalah dengan membekali putera/puteri dengan pendidikan keagamaan (bagian dari
barang-11) dan pendidikan formal (bagian barang-22) sejak dini. Mengingat surat At
Taubah ayat 60 menyebutkan salah satu alokasi dana zakat untuk fii sabii lillah,
sedangkan melaksanakan kegiatan pendidikan formal/keagamaan merupakan bagian dari
fii sabii lillah, maka tulisan ini mengusulkan salah satu alokasi zakat adalah untuk
kepentingan pendidikan formal/keagamaan yang sangat berperan bagi rumah-tangga
Muslim dalam pencapaian maksimum utility. Alokasi dana ini khususnya disampaikan
kepada anak-anak yang tidak mampu membiayai pendidikannya, sehingga melalui
pendidikan yang baik akan dapat memperkecil kuantitas umat yang berada dibawah garis
kemiskinan.
Selain dari pada itu alokasi dana dapat juga disalurkan kepada tujuh golongan lain
yang intinya disalurkan untuk keperluan konsumsi, menutup hutang dan sebagai modal
kerja. Keperluan konsumsi dan menutup hutang pada kondisi krisis seperti saat ini adalah
kegiatan yang tidak dapat dihindari, guna menyelamatkan umat untuk dapat memenuhi
kebutuhan mendasar. Penyaluran konsumsi dapat memiliki dampak peningkatan
pengeluaran konsumsi, karena penyaluran zakat pada orang-orang yang khususnya fakir
dan miskin cenderung akan meningkatkan marginal propensity to consume (MPC)
sehingga cenderung tiada dana yang tertinggal bagi penerima zakat. Sehingga secara
agregat akan menurunkan tingkat tabungan nasional. Disisi lain peningkatan MPC pada
gilirannya akan meningkatkan permintaan barang yang pada gilirannya akan
meningkatkan kegiatan produksi yang akhirnya dapat membuka lapangan kerja. Sehingga
8
hal ini memberikan dampak yang positif bagi perekonomian. Namun pemanfaatan zakat
untuk konsumsi cenderung digunakan untuk mengkonsumsi barang-barang non-durable
sehingga efek multiplier nya akan lebih kecil dibandingkan bila disalurkan untuk modal
kerja bagi kegiatan produktif.
Bila zakat disalurkan dalam bentuk modal kerja untuk digunakan sebagai modal
dalam berusaha (kecil-kecilan) dapat memberikan tambahan penerimaan bagi rumahtangga
penerima. Sehingga dana zakat tersebut tidak akan habis begitu saja, melainkan
akan berkembang. Dengan memutarkan dana zakat untuk kegiatan usaha akan
memberikan kemampuan bagi rumah-tangga penerima zakat untuk memenuhi kebutuhan
rumah-tangganya, yang pada satu saat rumah-tangga penerima zakat dapat beralih
menjadi pemberi zakat. Dengan penyaluran seperti ini akan memiliki dampak yang lebih
besar karena secara bertahap akan mengurangi golongan miskin, sehingga penyaluran
dengan cara ini dapat menghindari bantuan keuangan diberikan kepada orang yang sama
setiap tahun. Pada akhirnya penyaluran zakat untuk modal kerja dapat membuka lapangan
kerja dan peningkatan pendapatan dalam perekonomian yang akhirnya dapat
memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup orang banyak.
V. Kesimpulan dan Saran
Pola konsumsi yang Islami adalah pencapaian maksimum utility tidak hanya
mempertimbangkan konsumsi untuk kepentingan dunia namun juga mempertimbangkan
konsumsi untuk kepentingan akhirat. Bila pola konsumsi masyarakat telah Islami, maka
konsumsi yang kurang bermanfaat dan berlebih-lebihan dapat dihindari. Selain dari pada
itu, terciptanya prilaku unit konsumer yang sedemikian rupa akan memudahkan
pengembangan perbankan syariah, karena baik dari sisi pemakai maupun penyedia jasa
perbankan syariah akan memperhatikan kepentingan akhirat yang merupakan salah satu
faktor penentu keberhasilan pengembangan perbankan syariah.
Salah satu konsumsi untuk kepentingan akhirat adalah zakat, dengan adanya
kesadaran bahwa pengeluaran untuk zakat adalah pengeluaran konsumsi guna pencapaian
maksimum utility, maka diharapkan rumah-tangga Muslim akan dapat menikmati
pengeluaran tersebut dan tidak melihat zakat sebagai beban bagi rumah-tangga. Dengan
keadaran yang sedemikian rupa, diharapkan rumah-tangga Muslim yang belum
menggunakan pola konsumsi yang Islami agar segera beralih ke pola konsumsi yang
Islami sehingga bersedia untuk mengeluarkan zakat, khususnya zakat mal. Disisi lain
zakat akan merangsang rumah-tangga untuk dapat bekerja lebih giat guna menghindari
penurunan networth.
Penulis sependapat dengan mantan presiden bahwa perlu adanya kesadaran umat
dalam menunaikan kewajiban ber-zakat, yang menurut penulis perubahan tersebut dapat
terjadi bila umat mau dan bersedia merubah pola konsumsi yang hanya
mempertimbangkan kepentingan dunia menjadi pola konsumsi yang mempertimbangkan
kepentingan dunia dan akhirat. Selanjutnya penulis setuju bahwa penyaluran zakat untuk
program JPS, namun dengan penekanan pada program pendidikan formal maupun
keagamaan serta untuk modal kerja. Hal ini mengingat pendidikan merupakan salah satu
faktor penentu yang dapat membebaskan masyarakat dari kemiskinan struktural serta
mengingat pentingnya pendidikan bagi anggota rumah-tangga yang ditinjau dari life-cycle
hypothesis dan human capital investment theory. Selanjutnya penyaluran zakat untuk
9
modal kerja akan dapat mengurangi orang yang berada dalam kelompok miskin. Akhirnya
walaupun penyaluran zakat untuk konsumsi tetap harus dilaksanakan, namun penyaluran
zakat pada program JPS sebaiknya lebih diarahkan pada program yang memberikan
“kail” (pendidikan dan modal kerja) dari pada “ikan” (penyaluran sembako).
Daftar Pustaka
Bryan, Keith W. (1990). The Economic Organization of the Household. New York:
Cambridge University Press 1990.
Dornbusch, Rudiger and Stanley Fischer (1984). Macro-Economics. New York:
McGraw-Hill Inc..
Faridi, F. R. (1976). Zakat and Fiscal Policy. Paper presented at The First International
Conference on Islamic Economics, Jeddah, February 1976.
Kahf, Monzer (1976). A Contribution to the Theory of Consumer Behaviour in an
Islamic Society. Paper presented at The First International Conference on Islamic
Economics, Jeddah, February 1976.
Kuran, Timur (1995). Islamic Economics and the Islamic Subeconomy, The Journal of
Economic Perspectives, 9: 4, 155-173.
Saud, Muhammad Abu (1976). Money, Interest and Qirad. Paper presented at The
First International Conference on Islamic Ecomics, Jeddah, February 1976.
Zarqa, Anas (1976). Islamic Economics: An Approach to Human Welfare. Paper
presented at The First International Conference on Islamic Ecomics, Jeddah,
February 1976.

No comments:

Post a Comment