Saturday 5 January 2013

PROBLEM PENGEMBANGAN PRODUK DALAM BANK SYARIAH


Oleh : Cecep Maskanul Hakim
Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP
I. Pengantar
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan Undang-undang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan langkah maju dalam perkembangan
perbankan, terutama bagi perbankan syariah. Dalam undang-undang ini perbankan
syariah diberikan perlakuan yang sama equal treatment dengan perbankan konvensional.
Padahal jika dilihat jumlahnya, ketika undang-undang itu disahkan, baru ada satu bank
syariah –Bank Muamalat- dan sekitar 70 BPR Syariah.1
Disahkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 telah membuka kesempatan
lebih luas bagi bank syariah untuk berkembang. Undang-undang ini bahkan tidak saja
menyebut bank syariah secara berdampingan dengan bank konvensional dalam pasal
demi pasal, tetapi juga menyatakan secara rinci prinsip produk perbankan syariah, seperti
Murabahah, Salam, Istisna, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah; padahal dalam
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tetang Perbankan, nama syariah pun sama sekali tidak
disebut.
Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, undang-undang No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebenarnya telah cukup memberikan keleluasaan bagi bank syariah
untuk mengembangkan sendiri produknya, sebab undang-undang itu hanya mengikat
sistem perbankan konvensional. Hal itu dapat dilihat, baik dari sisi teoritis maupun
praktis, perbankan syariah telah mendapat tempat khusus. Sebagai contoh dalam
perpajakan ada ketentuan yang tidak mengenakan pajak jual-beli atas penjualan oleh
sebuah bank syariah, sepanjang penjualan itu merupakan bisnis murni bank syariah,
karena memang prinsip operasinya mengharuskan seperti itu. Oleh karena itu secara
teoritis semestinya produk bank syariah telah berkembang karena Bank Muamalat telah
didirikan sejak tahun 1992. Tetapi mengapa hanya Murabahah dan Bai’ Bitsaman Ajil
saja yang terus-menerus dipergunakan, seperti tidak ada produk lain yang bisa
dikembangkan?
Nampaknya karena kritik tersebut, pada tahun 1997 Bank Muamalat melakukan
workshop interen untuk mengembangkan sendiri produknya, dan tidak lagi “mengekor”
kepada produk-produk Bank Islam Malaysia Berhad. Para narasumber didatangkan dan
berbagai sumber digali, baik dalam bidang fiqih, ekonomi, perbankan maupun akuntansi.
Semua kemungkinan dijajaki dan diuji, paling tidak dalam tataran teori. Hasilnya
lumayan mengejutkan. Dari lokakarya itu ditemukan bahwa selama ini apa yang
diterapkan dalam produk-produk, baik liabilitas, aset maupun jasa ternyata telah
mengambil jalan yang lumayan berbeda dari produk asli syariah. Manajemen kemudian
bertekad untuk memperbaiki yang ada dan mengembangkan produk-produk syariah yang
1 Bandingkan dengan 400 bank konvensional dan 8000 BPR konvensional.
2
selama ini tidak “tersentuh.” Ternyata pengembangan produk syariah ke perbankan tidak
semudah yang diduga. Perdebatan yang tadinya hanya berkisar tentang hal-hal kecil
seperti penentuan harga terhadap nasabah, berkembang menjadi masalah berat seperti
time value of money, economic cycle, posisi harta dalam Islam, peran hakim syariah, dan
sebagainya. Selain itu sumber daya manusia juga bukan masalah kecil. Dengan beragam
latar belakang pendidikan, pengalaman dan bidang kerja para karyawan, pengembangan
produk tidak lagi menjadi tanggungjawab sebuah divisi, tetapi inter-divisi dan bahkan
bank secara keseluruhan.
Tulisan ini berusaha mengungkap problematika yang dihadapi dalam
mengembangkan produk pada bank Syariah. Sebagian besar bahan tulisan ini dirangkum
dari pengalaman pribadi penulis yang pernah bekerja di Bank Muamalat sebagai staf
yang membidangi pengembangan produk aset; sedangkan referensi yang dikutip
merupakan tambahan yang kebetulan sesuai.
II. Pendekatan yang berbeda-beda.
Sebelum membahas problematika yang terjadi dalam pengembangan bank
syariah, terlebih dahulu perlu dilihat pendekatan yang mempengaruhi pola
pengembangan produk bank syariah. Pendekatan ini membentuk paradigma yang
akhirnya memberi arah bagi perkembangan produk itu. Ketika pendekatan ini tidak satu
dan berbeda, tetapi memerlukan suatu penetapan keputusan (decision making), maka
yang terjadi adalah tarik menarik kepentingan, seberapapun kecilnya. Misalnya, jika
kemungkinan trade-off itu akan terjadi antara kepentingan nasabah dengan bank, maka
secara intuitif kepentingan bank lebih dahulu dilindungi, mengingat yang membuat
produk ini adalah orang bank itu sendiri.
1. Antara Akomodatif dan Asimilatif.
Pergumulan pendekatan yang sekarang masih berlanjut adalah antara
metode “akomodatif” dengan “asimilatif.”2 Metode akomodatif menekankan caracara
pragmatis dalam pengembangan bank syariah. Metode ini berangkat dari
asumsi bahwa saat ini tidak ada satupun situasi ideal bagi bank syariah untuk
melaksanakan secara murni apa yang terdapat dalam syariah. Karena itu bank
syariah adalah bank konvensional yang “disyariahkan” dalam segala
operasionalnya, baik produknya maupun transaksinya. Metode ini mengambil
dasarnya dari kaidah usul Fiqih: “Segala sesuatu dalam muamalah dibolehkan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Akibatnya tidak mengherankan jika
kemudian yang muncul ke permukaan adalah bank syariah yang produknya
merupakan fotokopi produk konvensional dengan perubahan sedikit disana-sini.
Misalnya, jika di bank konvensional ada “kredit modal kerja” maka di bank
2 Abdullah Saeed dari University Melbourne membagi pendekatan ini menjadi tiga, yaitu idealis, pragmatis dan
maslaha oriented. Dua yang pertama merupakan nama lain dari akomodasi dan asimilasi, sedangkan pendekatan
maslaha oriented yang berprinsip diantaranya bahwa bunga bukan riba sebagaimana yang dimaksud dalam Islam,
penulis tidak membahasnya karena tidak terlalu relevan. Lihat Abdullah Saeed, Capitalising on the Current Status
of the Interpretation of Fundamental Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, paper
dipresentasikan pada Islamic Funds Conference, Kuala Lumpur, 23-24 Juni 1997
3
syariah ada “pembiayaan modal kerja” dengan spesifikasi yang nyaris tidak
berbeda.
Jika terdapat bahwa produk Syariah tidak dapat mengakomodir produk
perbankan, maka menurut metode ini produk syariah, harus “direvisi” atau
disesuaikan kedalam produk perbankan. Maka tidak heran misalnya sampai saat
ini banyak bank syariah tetap meminta jaminan dari nasabah ketika ia
memberikan pembiayaan Mudharabah atau Musyarakah. Padahal hampir seluruh
ulama sepakat bahwa apabila seseorang melakukan Mudharabah, pemilik
modal/dana tidak boleh meminta jaminan dari pelaksana (mudharib).3
Metode asimilatif berfikir sebaliknya. Bank syariah merupakan salah satu
personifikasi atau invidividu abstrak4 dari orang yang melakukan kontrak (akad)
syariah-muamalah. Disebut salah satu disini karena pelaksanaan akad syariah
bukan hanya dapat dilaksanakan oleh bank, tetapi bisa juga oleh lembaga lain,
seperti multifinance, asuransi, perusahaan sekuriti dan sebagainya.
Konsekwensinya, semua produk bank syariah adalah penjelmaan dari produk
syariah. Jika misalnya bank syariah melakukan Murabahah (jual beli yang
keuntungannya disepakati oleh pembeli dan penjual) maka bank harus melakukan
jual beli dalam arti yang sebenarnya. Artinya bank memang melakukan penjualan
barang kepada nasabah dengan akte jual beli dan syarat-syarat sebagaimana
lazimnya sebuah transaksi penjualan.
Jika kemudian produk bank tidak sesuai dengan syariah, maka suka atau
tidak suka produk itu ditinggalkan. Sebab, berusaha untuk mencocokcocokkannya
dengan produk syariah akan membawa dampak kepada
ketidakmurnian produk syariah. Padahal produk syariah sudah sedemikian
lengkap dan baku. Metode asimilatif memandang bahwa bank adalah semata-mata
alat penerapan dari produk syariah yang tidak memiliki hak kapabilitas merubah
atau merivisi produk Syariah. Akan banyak kerancuan yang terjadi jika produk
syariah direvisi menurut sifat yang ada dalam produk perbankan.
Jika yang terjadi produk syariah tidak diterapkan karena ketentuan dalam
hukum positif tidak mengizinkan, maka ada dua hal yang harus dilakukan.
Pertama untuk sementara produk syariah disesuaikan dengan revisi seminimal
mungkin. Kedua harus ada upaya jangka panjang untuk mengamandir hukum
positif agar produk syariah dapat diakomodir didalamnya. Sebab, produk
perbankan syariah, sebagai penjelmaan produk syariah, memiliki karakter unik
yang berbeda dengan bank konvensional.
2. Antara Moneter dan Riil
3 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuh, Vol.IV, Maktabah , Damaskus, 1989.
4 Tentang kedudukan individu abstrak atau abstract personality (yang dalam bahasa Arabnya Syakhsiyyah
I’tibariyyah atau Syakhsyiyyah Hukmiyyah) dalam syariah, lihat Musthafa Ahmad Zarqa, Madkhal al fiqh
al’Aam, Vol.III hal. 256 dan Wahbah Zuhaily, ibid, Vol. IV hal 11. Lihat juga Kumpulan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, tentang Reksadana Syariah, hal 199.
4
Pendekatan yang juga mempengaruhi pengembangan produk bank syariah
adalah ambivalensi bank syariah yang berada diantara sektor riil dan moneter.
Disatu sisi, kata “bank” sendiri sudah menunjukkan bahwa lembaga ini memang
bergerak di bidang finansial alias moneter. Adalah logis jika kemudian produkproduknya,
termasuk dalam hal ini produk bank syariah, mengikuti
perkembangan produk finansial. Disisi lain para penulis ekonomi Islam umumnya
menggariskan bahwa Islam tidak mengenal perbedaan antara sektor moneter dan
sektor riil. Sektor moneter merupakan bayangan atau cermin dari sektor riil. Jika
sektor riilnya tidak ada maka bagaimana ada sektor moneter? Oleh karena itu
penciptaan produk finansial yang terlepas dari produk riil akan mengakibatkan
derivasi yang menyebabkan timbulnya bubble economics.
Ambivalensi seperti ini mengakibatkan pengembangan produk, terutama
derivative, menjadi lambat jika tidak terhenti sama sekali. Ada dua kutub yang
sama-sama dipelajari bank syariah di Indonesia dan masing-masing memiliki
pengaruhnya, yaitu Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan bank-bank Islam
Timur Tengah. BIMB, meskipun banyak dikritik karena sikap akomodatifnya
terhadap produk derivatif, berhasil merekayasa banyak produk sektor perbankan
dan keuangan Islam. Misalnya ada Pasar Uang Antar Bank Islam, Obligasi Islam,
Islamic Futures, Islamic Option, Islamic Swap, Islamic Securitization dan
sebagainya.5 Sementara bank-bank di Timur Tengah, meskipun mengklaim
sebagai pelaksana produk syariah secara konsisten, lambat mengembangkan pasar
uangnya. Apatah lagi produk-produk derivatifnya.
III. Problem Dalam Pengembangan Produk
Paradigma yang harus dipegang dalam pengembangan produk adalah bahwa
berbeda dengan yang ada dalam bank konvensional, yang memakai satu jenis transaksi
yaitu pinjaman, dalam bank syariah produk-produk harus dikembangkan mengikuti
karakter dan sifat produk syariah yang berbeda satu sama lain. Resiko dan jangka waktu
merupakan faktor kedua sesudah karakter dan sifat itu diletakkan. Misalnya, karakter
produk Murabahah adalah jual beli barang. Bank bertindak sebagai penjual dan nasabah
sebagai pembeli. Bank boleh meminta jaminan tambahan selain barang yang dibeli.
Ketika produk ini diterapkan pada pembiayaan konstruksi, tentu tidak tepat. Karena harus
ada barang yang diperjual belikan, bukan proyek yang bentuknya tidak nyata. Jika
dicocok-cocokkan dengan menjual beli bahan-bahan konstruksi seperti batu, pasir, semen
dan lain-lain, bank akan mendapat kesulitan dalam perincian barang. Kalau memaksakan
juga, ada sesuatu yang tidak bisa diperjual belikan, seperti tenaga kerja, dan untuk itu
harus digunakan produk lain yaitu Ijarah (sewa). Kalau sudah begini artinya Murabahah
tidak cocok untuk pembiayaan konstruksi. Ada yang lebih cocok, misalnya Istisna, yaitu
produk Syariah lain untuk jual beli, dimana bank bertindak sebagai pembeli barang yang
akan dibangun/ dibuat. Bank membayar secara bertahap kepada kontraktor dan setelah
selesai bank menjualnya kepada bohir.
5 Lihat Dr. Abdul Halim Ismail, Islamic Fund Manager, paper dipresentasikan dalam Lokakarya Ulama tentang
Reksadana, Holiday Inn, Jakarta, 29-30 Juli 1997.
5
Jika paradigma ini tidak dipegang, maka kecendrungan bankir adalah membuat
produk yang lebih dekat dengan produk konvensional. Alasannya sederhana, lebih mudah
dihitung, lebih mudah dibandingkan dan jelas ukurannya. Tabel 1 memberikan
perbandingan contoh produk syariah dan poduk keuangan dan perbankan.
1. Syariah versus Undang-undang dan Peraturan
Seperti yang disinggung sedikit dimuka, kendala yang dihadapi bank
syariah dalam mengembangkan produknya diantaranya jika terjadi
ketidakserasian antara aturan syariah dengan aturan yang berlaku dalam hukum
positif. Memilih diantara kedua ekstrim itu memiliki konsekwensi masingmasing.
Tabel 2 memberikan contoh kendala penerapan produk-produk syariah
dalam produk perbankan karena perbedaan antara hukum syariah dan perbankan.
2. Diversifikasi Produk
Kemana arah pengembangan produk bank syariah? Pertanyaan ini sering
ditanya mengingat berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992 diiringi sejumlah
harapan dari masyarakat muslim yang kebanyakan kaum menengah kebawah.
Dengan kata lain bank ini diharapkan untuk menjadi bank pembangunan. Padahal
status bank ini adalah swasta yang tentunya berorientasi kepada komersial.
Karena itu suka atau tidak suka produk bank syariah harus dikembangkan ke dua
arah ini.
Tuntutan masyarakat agar ada bank syariah di daerahnya juga menjadi
sumber diversifikasi produk. Daerah seperti Sumatera dan Kalimantan yang lebih
mengedepankan budi daya kehutanan dan perkebunan menuntut produk
pembiayaan dengan jangka waktu lebih panjang karena tidak mungkin mereka
dapat mengembalikan dana pembiayaan dalam jangka waktu satu-dua tahun,
padahal hasil perkebunan baru dapat dinikmati setelah 5 tahun.6 Ini berarti bahwa
produk syariah harus diarahkan ke arah produk investasi yang bisa dikembangkan
menjadi instrumen pasar uang antar bank syariah, dengan tujuan diantaranya
menjaga likuiditas. Sedangkan di daerah perkotaan, orang lebih suka dengan
jangka pendek, misalnya 2 tahun. Dengan demikian kategori pengembangan
produk harus ditambah dengan investasi dan retail.
Segmentasi jenis usaha merupakan faktor lain. Produk untuk perdagangan
tentu berbeda dengan produk konsumtif. Produk untuk sektor modal produksi
tentu berbeda dengan sektor distribusi. Begitu pula produk untuk pertambangan
bisa berbeda dengan produk untuk konstruksi. Sebagai contoh, kekeliruan bank
syariah selama ini terlihat ketika menerapkan Murabahah, yang merupakan
produk syariah untuk jual beli barang sekali jalan (one shot deal), pada sektor
6 Mungkin itulah sebabnya kebanyakan bank pertanian kurang berhasil karena pola perbankan kurang cocok untuk
produk perkebunan
6
perdagangan. Akibatnya Murabahah menjadi revolving, karakter yang hanya
dimiliki oleh Mudharabah dan Musyarakah.
Berbeda pula halnya jika kategori produk menurut resiko. Produk untuk
pembangunan masyarakat menengah ke bawah secara relatif lebih beresiko
ketimbang untuk masyarakat bisnis. Produk untuk peningkatan kesejahteraan
seperti ini harus sederhana, mudah dimengerti dan tidak berbelit-belit. Sulitnya
adalah produk syariah apa yang cocok, karena bisa jadi segmennya bermacammacam.
Misalnya untuk pertanian (padi) produk Salam dapat digunakan. Tapi
untuk asongan, kelontongan, kerajinan dan sebagainya harus juga dicarikan
padanannya. Suka atau tidak, semua produk harus disimulasi untuk menghasilkan
produk yang tepat dalam kategori ini.
Menurut pengalaman, para praktisi bank syariah dalam berhubungan
nasabah pembiayaan, produk itu dibagi menurut tingkat kepercayaan yang telah
terjalin diantara keduanya. Untuk nasabah yang baru, biasanya tidak langsung
diberikan pembiayaan dengan kepercayaan penuh, seperti Mudharabah atau
Musyarakah. Tetapi diberikan produk jual beli, seperti Murabahah (atau Bai’
Bithaman Ajil menurut BIMB), Salam dan Istisna. Karena dalam produk ini bank
dapat menerapkan semua prinsip perbankan murni, seperti hutang, kewajiban
cicilan, jangka waktu, tingkat harga, jaminan tambahan dan sebagainya. Ketika
melalui produk pembiayaan ini kepercayaan nasabah sudah dapat dilihat, bank
kemudian menawarkan produk yang lebih beresiko, seperti Mudharabah. Pada
produk ini bank tidak dapat lagi membebankan resiko pada nasabah, karena
sepenuhnya ditanggung oleh bank. Kredibilitas, integritas dan accountibilitas
nasabah sebagai mudharib menjadi faktor penentu. Dan jika dengan produk
inipun nasabah bisa dipercaya, maka produk yang tertinggi tingkat resikonya,
yaitu Qardh (pinjaman tanpa bagi hasil) dapat diberikan. Pada tingkat ini nasabah
telah mencapai taraf prima (prime customer) karena tanpa jaminan dan tanpa
kewajiban memberikan tambahan, bank dapat memberikan pinjaman. Biasanya
diberikan untuk kebutuhan mendesak, berjangka waktu relatif pendek, tidak bisa
dilayani oleh produk lain dan kemungkinan besar tidak akan macet.
Kritik terhadap pengkategorian produk seperti ini adalah bahwa fasilitas
mudharabah hanya diberikan kepada nasabah yang besar-besar saja, karena hanya
mereka saja yang mampu melewati unsur-unsur perbankan teknis pada tahap
sebelumnya, seperti jaminan tambahan. Meskipun ini tidak melanggar syariah,
karena menyangkut pilihan kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa perbankan
syariah akan melestarikan status quo ekses perbankan konvensional, yaitu hanya
strata masyarakat atas saja yang dapat menikmati fasilitas perbankan.
7
Tabel 1
Contoh Produk Syariah Dan Keuangan
PRODUK SYARIAH PRODUK PERBANKAN
Jual Beli
1. Murabahah : Jual beli yang keuntungannya disepakati penjual dan pembeli
2. Musawamah : Jual beli yang keuntungannya hanya diketahui penjual
3. Tauliah: Jual beli yang tidak ada keuntungan bagi penjual. (komisi)
4. Muwadhaah: Jual beli yang harganya dibawah harga jual (diskon)
5. Mutlaq: Tukar menukar uang dengan barang
6. Muqayadhah: Tukar menukar barang dengan barang
7. Sarf: Tukar menukar uang dengan uang
8. Salam: Jual beli yang harga dibayar lebih dulu, barang diserahkan kemudian
9. Istisna: Jual beli yang harga dapat dicicil, barang dibuat dan diserahkan kemudian
10. Wafa: Jual beli yang diiringi syarat untuk dibeli kembali
11. Urbun: Jual beli yang jika tidak diteruskan uang muka jadi milik penjual
Pembiayaan
1. Kredit Investasi
2. Kredit Modal Kerja
3. Kredit Konstruksi
Pembangunan
1. Kredit Usaha Kecil
2. Kredit Usaha Tani
3. Kredit untuk Koperasi
Konsumsi
1. Kredit pemilikan rumah
2. Kredit pemilikan kendaraan
Bagi Untung/Bagi Hasil
1. Mudharabah: Perkongsian pemodal (sahibul mal) dan pengelola (mudharib), keuntungan
dibagi menurut porsi yang disepakati sebelumnya sedangkan jika usaha rugi ditanggung
pemodal.
2. Musyarakah: Perkongsian para pemodal, keuntungan dibagi menurut porsi yang disepakati
sebelumnya, kerugian ditanggung bersama berdasarkan proporsi modal.
3. Muzaraah: Perkongsian pemilik tanah pertanian dan pengelola, pembagian hasil menurut
porsi yang disepakati sebelumnya.
4. Musaqat: Perkongsian pemilik tanah perkebunan dan pengelola, pembagian menurut porsi
yang disepakati sebelumnya.
Kredit Ekspor
1. Letter of Credit
2. Garansi Bank
Treasury
1. Spot
2. Forward
3. Swap
4. Option
Jasa
1. Ijarah: Sewa menyewa
2. Wadiah: Titipan
3. Wakalah: Perwakilan
4. Kafalah: Penjaminan
5. Hiwalah: Anjak Piutang
6. Ju’alah: Jasa khusus, sayembara
7. Qardh: Pinjaman
8. Rahn: Gadai
Simpanan
1. Giro
2. Tabungan
3. Deposito
Jasa
1. Transfer
2. Inkaso
3. ATM
8
Tabel 2
Contoh Kendala penerapan produk Syariah dalam perbankan
Produk Syariah Hukum Syariah Hukum Positif/ Perbankan Kendala bagi bank syariah jika
tetap berpegang kepada produk
syariah
Mudharabah
Musyarakah
Dana (modal) tidak boleh dijamin Dijamin (liabilitas, deposito/
tabungan)
Bank boleh meminta jaminan
tergantung resiko (Asset)
Bank harus menanggung semua
kewajiban
Tidak berbeda dengan bank
konvensional
Murabahah Bank menjual kepada nasabah
Tidak boleh diwakilkan kepada nasabah
yang mengajukan pembiayaan untuk
membeli barang.
Jika dilakukan jual beli harus ada
akta jual beli
Harus ada bukti penerimaan uang
oleh nasabah
Bank akan terkena pajak
pembelian.
Tanda terima barang oleh nasabah
tidak bisa dijadikan bukti.
Salam Setelah dibayar, petani berhutang gabah
yang akan diantar kemudian
Petani berhutang uang, harus
mengembalikan uang
Resiko harga bagah yang
fluktuatif akan merugikan
bank
Istisna Setelah dibayar (sebagian), penjual
(Nasabah) berhutang barang yang akan
diantar kemudian.
Penjual berhutang uang, harus
mengembalikan uang
Jika barang itu pesanan bohir,
bank beresiko tidak dibayar
bila terdapat cacat pada
barang.
Ijarah Muntahia
Bittamliik
Syariah hanya mengenal Operating Lease.
Jika ada opsi beli, maka itu hanya mengikat
bila diakadkan di akhir masa sewa
(tidak boleh dua akad/kontrak
dijadikan satu).
Operating Lease adalah produk
perusahaan jasa. Finance &
Capital Lease adalah produk
perusahaan keuangan
Opsi bersifat mengikat jika
dimasukkan dalam perjanjian.
Bank sulit mengeluarkan nasabah
yang menyewa dari
rumahnya.
Merugikan salah satu pihak bila
opdi tidak dilaksanakan.
9
Para bankir syariah sering mengeluh bahwa bank syariah terlalu banyak
mengembangkan produk pembiayaan dan tertinggal dalam produk interbank
(institutional) dan treasury. Mereka berfikir bahwa produk interbank memiliki
spesifikasi berbeda dengan produk pembiayaan. Padahal jika mereka kembali
kepada dasar produk perbankan, yaitu produk syariah, produk interbank dan
treasuri akan mereka disain dengan mudah. Inti produk syariah dalam hal ini
adalah menjelaskan hubungan (muamalah) yang melibatkan harta dan
menjelaskan hak dan kewajiban pihak-pihak yang melakukan transaksi. Tinggal
dipertemukan antara transaksi interbank dengan produk syariah yang memiliki
karakter yang sesuai. Misalnya jika bank melakukan transaksi dengan bank
lainnya menggunakan pinjaman, maka produk yang bisa digunakan adalah Qardh
dan tidak boleh ada imbalan yang diperjanjikan. Jika dari dana itu dituntut
imbalan, transaksi itu harus menggunakan produk Mudharabah, yang
memungkinkan adanya keuntungan yang didapat, disamping juga kemungkinan
kerugian. Spesifikasi produk treasury dan institutional banking pada Mudharabah
ini adalah porsi bagi-hasil/ bagi-untung yang memiliki dana lebih besar (misalnya
70:30) dari yang biasa disepakati untuk nasabah deposan (misalnya 60:40). Yang
kedua biasanya mudharabah dan pinjaman dalam transaksi treasury berjangka
waktu lebih pendek dari produk liabilitas lainnya.
3. Penentuan Harga (Pricing)
Hal yang paling banyak mengundang perdebatan adalah penentuan harga,
terutama untuk produk pembiayaan. Hal ini disebabkan adanya faktor rujukan
(benchmark) sebagai bahan perbandingan. Padahal jika prinsip perbankan syariah
benar-benar dijalankan, para bankir tidak akan menghadapi kesulitan.
Masalah yang jadi bahan perdebatan adalah berapa tingkat keuntungan yang harus
dibebankan kepada nasabah sebagai penghasilan bank. Untuk produk jual beli
seperti Murabahah, Istisna dan Salam, bank dapat menentukan tingkat keuntungan
seperti halnya dalam perbankan konvensional, misalnya 12%. Tingkat keuntungan
ini lalu ditambahkan kepada harga beli dan menjadi harga jual kepada nasabah.
Tapi persoalannya tidak selesai sampai disitu. Perdebatan terjadi setelah timbul
pertanyaan apakah tingkat keuntungan itu lumpsum atau per annum. Dalam
syariah harga jual tidak boleh dua kali dalam satu akad. Artinya jika bank dan
nasabah menyepakati tingkat keuntungan 12 % per annum dari harga beli sebesar
Rp. 100 juta dan dalam jangka waktu dua tahun, berarti ada dua harga dalam satu
akad pembiayaan. Jika nasabah sudah mencicil hutangnya sampai 20 bulan lalu
menunggak, dan baru bisa melunasi sesudah 2 tahun setengah, maka harga
jualnya tidak lagi sebesar harga beli + 24 %, tetapi harga beli + 30 %. Itu
sebabnya mengapa bank syariah mendapat kritik tajam dari sebagian masyarakat,
karena penentuan harga seperti ini tidak berbeda dengan penentuan tingkat bunga
dalam bank konvensional.
10
Issue keterpisahan pasar finansial dari pasar riil timbul lagi dalam pembahasan
rujukan benchmark. Dalam suatu pembahasan produk, para dealer treasury
mengajukan penetapan fatwa Dewan Pengawas Syariah atas transaksi forward.
Ketika ditanya bagaimana menghitung harga beli valuta asing sesudah jangka
waktu 30 hari, para dealer memberikan rumus sebagai berikut:
Nominal Valuta Asing x Nilai Tukar [ 1 + ( 30/360 x 15%)]
Para ulama amat terkejut ketika mengetahui bahwa 15% itu tingkat bunga pasar,
dan mereka bertanya-tanya mengapa harus bunga yang dijadikan dasar
perhitungan. Apakah tidak ada alternatif lain? Celakanya masalah rujukan ini
bukan saja masalah nasional, tetapi juga merupakan fenomena internasional. Saat
ini kritik tajam dilontarkan kepada bank syariah karena menjadikan pasar uang
sebagai rujukannya. Islamic Development Bank, misalnya, masih menggunakan
London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR) sebagai rujukan cost of fund dari dana
yang diberikan. Padahal rujukan itu tentunya didapat dari tingkat bunga. Karena
itu sebuah rujukan khusus bagi bank syariah masih dinantikan sebagai pengganti
pasar uang antar bank. Pernah ada usulan agar tingkat harga bank syariah merujuk
kepada tingkat harga di pasar riil dengan masing-masing sektornya. Misalnya
tingkat keuntungan pada sektor konstruksi adalah 20%. Maka bank dapat
mengenakan tingkat harga untuk jual beli konstruksi pada sekitar tingkat itu.
Namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih mendalam, karena akan timbul
berbagai masalah, diantaranya kecemburuan antarsektoral. Misalnya, bisa saja
nasabah yang membeli barang konsumtif dengan cara Murabahah merasa
dirugikan karena dikenakan tingkat harga lebih tinggi dari mereka yang membeli
barang modal, juga dengan cara Murabahah, dengan tingkat harga yang lebih
rendah.
Kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan produk jual beli dari produk bagi
hasil membawa ekses pada penentuan tingkat harga ini. Tingkat keuntungan yang
ditentukan untuk produk jual beli, akhirnya menjadi cost of fund untuk semua
produk, termasuk produk bagi hasil. Celakanya, hal itu juga dihitung dengan
metode per annum. Maka tidak heran jika ada Mudharabah dengan bagi hasil
yang dibebankan kepada nasabah setara 20% per annum! Artinya nasabah
sebagai mudharib harus membayar bagi hasil kepada bank setara 20% pertahun!
Jika nasabah mendapat keuntungan lebih dari itu, ia hanya membayar 20%nya,
sedangkan jika ia rugi maka ia harus tetap membayar setara itu. Padahal
Mudharabah adalah produk bagi hasil yang kondisi pendapatannya tidak fixed,
tergantung situasi bisnis. Kerancuan ini timbul karena bank menganggap cost of
fund sebagai target yang wajib dipenuhi untuk mencapai tingkat keuntungan yang
akan dibagikan kepada nasabah penyimpan, tanpa memilah produk syariah
tertentu yang memiliki karakter seperti itu.
Jika demikian halnya, maka prinsip perbankan syariah hanya tersisa pada nama
produk, karena pada dasarnya paradigma konvensional juga yang diterapkan. Itu
11
terlihat pada proses yang dilakukan para bankir syariah dalam menetapkan asset
liability management. Mereka menentukan dulu berapa tingkat keuntungan yang
harus diberikan kepada nasabah penyimpan (dengan rujukan tingkat bunga yang
diberikan bank konvensional), lalu menetapkan tingkat keuntungan yang harus
dibebankan kepada nasabah pembiayaan (dengan rujukan yang sama). Dengan
kata lain, sebenarnya para bankir syariah selama ini menerapkan konsep biaya
(cost concept). Padahal jika paradigma ini dirubah dengan konsep pendapatan
(revenue concept) maka bank sebagai mudharib tidak memiliki kewajiban untuk
memberikan keuntungan jika memang belum bisa memperolehnya. Artinya cost
of fund bank adalah nol. Demikian pula jika bank sebagai penerima titipan untuk
penerapan wadiah pada produk giro.7 Karena itu bank syariah bebas menetapkan
keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah pembiayaan, bahkan bisa
lebih murah dari bank konvensional.
4. Sumber Daya Manusia
Masalah sumber daya manusia merupakan masalah yang paling rumit bukan saja
dalam pengembangan produk, tapi dalam bank syariah secara keseluruhan.
Bahkan problem ini juga bukan saja masalah lokal tetapi juga bank syariah di
dunia Islam internasional.8 Pendidikan yang dikelola pemerintah di dunia Islam
umumnya mengikuti pola bekas penjajah, yaitu memisahkan kehidupan ilmu dan
keduniaan dari agama. Akibatnya para lulusan sekolah itu menguasai ilmu
pengetahuan dan sedikit saja yang memahami masalah agama. Disisi lain
pesantren sebagai tempat pengembangan ilmu-ilmu berbasis agama tidak
mengembangkan ilmu-ilmu ‘aqli (rasio), sehingga para lulusannya mahir dalam
fiqih, usul fiqih, hadist dan sebagainya namun lemah dalam ilmu kealaman seperti
fisika, biologi, matematika dan lain-lain.
Hal yang sama terjadi dalam perbankan syariah. Ketika diminta mengembangkan
suatu produk, biasanya terjadi perdebatan yang cukup panjang antara orang-orang
yang berlatar belakang perbankan murni dengan yang beratar belakang syariah.
Jarang didapati dalam satu bank SDM yang memahami kedua ilmu dasar ini,
apatah lagi tentang perbankan syariah yang relatif baru di Indonesia.
V. Alokasi Penelitian dan Pendidikan
Di kalangan perbankan syariah, bahkan di negara berkembang pada umumnya,
penelitian dan pengembangan (research and development) belum mendapat
prioritas tinggi.9 Bank-bank syariah lebih banyak mengadakan seminar dan
konferensi untuk membahas issu. Demikian pula dengan penyediaan fasilitas
7 Bank biasanya menerapkan produk syariah wadiah yad dhamanah untuk giro dan sebagian tabungan, dan produk
mudharabah pada deposito dan sebagian tabungan lainnya.
8 Ausaf Ahmad, Development and Problem of Islamic Banks, IRTI-IDB, 1985
9 Khurshid Ahmad, Problem of Research in Islamic Economics, dalam Research and Methodology in Islamic Bank,
Syed Omar & (ed.), Pelanduk Publication, Selangor 1992.
12
pendidikan lanjutan untuk para karyawannya. Padahal di negara maju keduanya
dianggap sebagai investasi yang dapat diambil manfaatnya dalam jangka panjang.
Alokasi pendidikan, kalaupun ada biasanya diberikan bank syariah untuk
mengirimkan karyawannya ke pelatihan-pelatihan. Namun substansi pelatihan
seringkali diprioritaskan kepada masalah teknis perbankan, sementara materi
syariahnya diletakkan pada prioritas berikutnya. Padahal semestinya jika sumber
daya manusia di bank syariah ingin maju, maka kedua muatan ini harus
berimbang. Bahkan menurut pengalaman, lebih mudah menjadikan seorang yang
memiliki disiplin ilmu syariah menjadi seorang bankir, daripada melakukan hal
sebaliknya. Ada kecendrungan dari kalangan bankir syariah sendiri untuk
menganggap masalah syariah adalah masalah sepele. Bahkan ada yang
menganggap masalah syariah bukan urusan mereka, tetapi diserahkan sepenuhnya
kepada para ulama di Dewan Pengawas Syariah. Jika sudah begini, sumber daya
manusia di bank syariah tidak pernah berkembang, karena melestarikan dikotomi
apa yang disebut ilmu dunia dan ilmu agama. Ilmu dunia adalah ilmu-ilmu yang
dianggap mengurus maslah keduniawian semata, seperti ekonomi, politik, sosial
dan sebagainya, sedangkan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang mempelajari
masalah keagamaan, seperti Qur’an, Hadist, Tafsir, Fiqih, Usul Fiqih dan
sebagainya.
VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
Melihat problematika yang ada dalam pengembangan perbankan, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan produk dalam bank syariah seringkali terjebak diantara kedua
aturan yang saling tarik menarik, yaitu syariah dan hukum positif. Perlu ada upaya
bersama untuk mencari jalan keluar, misalnya menyusun undang-undang bank
syariah tersendiri. Hal ini amat penting agar bank syariah dapat menunjukkan ciri
khas produknya dari yang dimiliki bank konvensional.
2. Pengembangan produk dalam perbankan syariah dapat mengikuti arah perbankan
konvensional, tetapi asas-asas produk syariah tidak boleh ditinggalkan. Semua
produk syariah dapat diterapkan untuk semua jenis kategori, tetapi harus
mengikuti konsekwensinya.
3. Perlu adanya usaha terus menerus mengembangkan teknis keuangan untuk
memberikan alternatif bagi perbankan syariah terhadap produk keuangan di dunia
konvensional. Rujukan (benchmark) keuangan merupakan contoh yang paling
jelas dalam hal ini.
4. Pengembangan produk bukan saja melibatkan sumber daya yang ada dalam
penelitian dan pengembangan, tetapi juga sumber daya yang mengerti dan
mendalami syariah, karena sumber daya manusia yang ada di bank syariah
sekarang ini belum memiliki pengetahuan di kedua bidang itu secara simultan.
Untuk itu Perlu dikembangkan sejak dini penggabungan pendidikan ilmu duniawi
13
dan ilmu agama sejak dini sekali dan ini harus dilanjutkan ke tingkat berikutnya
bahkan samnpai tingkat perguruan tinggi, sehingga dikotomi pengetahuan agama
dan pengetahuan dunia lama-kelamaan akan menipis. Ini bukan tugas perbankan
syariah semata, tapi tugas ummat Islam secara nasional.
RUJUKAN
.
1. Abdul Halim Ismail, Islamic Fund Manager, paper dipresentasikan dalam Lokakarya Ulama
tentang Reksadana, Holiday Inn, Jakarta, 29-30 Juli 1997.
2. Abdullah Saeed, Capitalising on the Current Status of the Interpretation of Fundamental
Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, paper dipresentasikan pada
Islamic Funds Conference, Kuala Lumpur, 23-24 Juni 1997
3. Ausaf Ahmad, Development and Problem of Islamic Banks, IRTI-IDB, 1985
4. Khurshid Ahmad, Problem of Research in Islamic Economics, dalam Research and
Methodology in Islamic Bank, Syed Omar & Aidit Ghazali (ed.), Pelanduk Publication,
Selangor 1992.
5. Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 1999
6. Musthafa Ahmad Zarqa, Madkhal al fiqh al’Aam, Vol.III hal. 256 dan
7. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuh, Vol.IV, Maktabah , Damaskus, 1989.

No comments:

Post a Comment