1. Asal usul harga yang adil
Pada zaman peradaban kuno konsepsi dan doktrin tentang
harga leih banyak berpijak pada basis filsafat ketimbang ekonomi. Tujuan harga yang adil pada zaman ini adalah menjamin
tegaknya keadilan. Dalam prakteknya filsafat memerlukan otoritas yang bisa
menggunakan kekuatannya untuk memaksa adanya harga yang adil, maka sejak itu
salah satu pusat perhatian dari pemerintah pada zaman itu adalah menciptakan
harga yang adil dan mencegah terjadinya pemerasan dalam bentuk apapun.
Pada zaman pertengahan, konsep harga yang adil semakin
berkembang dan banyak disinggung oleh ekonom-ekonom saat itu, dimana St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa sangatlah berdosa apabila
seseorang menetapkan harga lebih dari yang sewajarnya. Pada masa ini sedikit
disinggung tentang harga yang adil, tetapi konsep ini belum jelas
didefinisikan. Albertus Magnus mengatakan harga suatu barang akan menjadi adil
apabila harga jualnya merefleksikan upah buruh dan biaya produksi lainnya.
Analisis ini lebih jelas dari sebelumnya, dimana ia memakai faktor upah dalam
bahasannya, namun rincian mengenai biaya produksi belum ditemukan di dalam
analisis ini.
Seorang ilmuwan lain bernama Dan Scotus, mengatakan bahwa
harga yang adil merupakan harga yang dikenakan berdasarkan biaya pembelian,
pengangkutan, penyimpanan dan kompensasinya untuk industri, biaya buruh dan
biaya yang terkandung di dalam barang itu sampai ke pasar. Ia menambahkan bahwa
harga yang adil adalah harga yang dapat mendorong seseorang memenuhi kebutuhan
keluarganya secara layak. Ini berarti bahwa harga harus meliputi biaya dan
keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pedagang itu. Tetapi
Dan Scotus tidak memasukkan pertimbangan pembeli di dalam analisis tersebut.
2. Konsep harga yang adil pada awal literatur fiqih
Keadilan merupakan salah satu hal yang sangat ditekankan
di dalam Al-Qur’an, oleh karena itu penggunaan konsep keadilan di dalam harga
adalah hal yang sangat alami untuk dikaji. Literatur yang terkait dengan harga yang adil dapat dilihat
di dalam kasus dimana seorang majikan membebaskan budaknya, Rasulullah SAW
mengatur bahwa kemudian budak tersebut menjadi merdeka dan mejikannya
memperoleh kompensasi dengan harga yang jujur (qimah al-adl). Hal yang
sama dapat dilihat dalam laporan tentang khalifah kedua Umar bin Khattab dalam
menetapkan nilai baru atas diyah (uang darah) setelah daya beli dirham turun,
yang menyebabkan terjadinya inflasi. Demikian pula pada salah satu surat
kenegaraan kalifah keempat Ali bin Abi Thalib, yang mengatur permasalahan
barang cacat yang dijual, perbutan kuasa, memaksa seorang penimbun untuk
menjual timbunannya, menetapkan harga terlalu tinggi, dan sebagainya.
Secara umum tokoh-tokoh Islam berpandangan bahwa harga
yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek yang sama yang diberikan pada
waktu dan tempat diserahkan. Lebih jauh
lagi, tokoh-tokoh Islam menyebut harga yang adil sebagai harga equivalen (Thaman
al-Mithl). Dengan demikian dapat kita lihat bahwa konsep harga yang adil
telah ada di dalam yurisprudensi Islm sejak awal, namun belum mendapat
perhatian khusus karena belum disinggung secara lebih spesifik.
3. Ibnu Taimiyah tentang kompensasi dan harga yang adil
1. Harga yang adil
Dalam membahas masalah harga, Ibnu Taimiyah
sering menyinggung 2 macam istilah yaitu: Kompensasi yang setara (’iwadh
al-minthl) dan Harga yang setara (thaman al-minthl). Harga yang setara merupakan istilah yang ada dalam
kehidupan ekonomi danKompensasi yang setara terkait dengan kasus moral dan
kewajiban hukum yang didalamnya terdapat analog harga. Contohnya adalah ketika
seseorang menyebabkan kerusakan pada barang pribadi orang lain, atau ketika
seseorang memberikan iuran atau kompensasi bagi orang yang menunjuk wakil/agen
untuk melakukan transaksi perdagangan menggantikan dirinya. Ini adalah kasus
nilai tukar, tetapi yang dimaksud dengan harga disini adalah kompensasi atau
pelaksanaan sebuah kewajiban.
Terlihat pada pemikiran beliau, Ibnu Taimiyah membedakan
antara aspek legal-etik dan ekonomi, dimana ia memakai kata kompensasi untuk
yang pertama dan harga yang adil untuk yang kedua, namun secara umum keduanya
merefleksikan hal yang sama yaitu harga dari sesuatu.
Harga yang setara didefenisikan sebagai harga baku dimana
penduduk menjual barang-barang mereka dimana harga yang berlaku merefleksikan
nilai tukar yang setara dengan barang tersebut, diterima secara umum, dan
berlangsung pada waktu dan tempat tertentu. Oleh karena itu harga yang
dijalankan atas dasar penipuan bukanlah harga yang setara, hal ini menandakan
bahwa harga yang setara haruslah merupakan harga yang kompetitif tanpa unsur
penipuan.
2. Konsep upah yang adil
Selain analisis tentang harga barang dan jasa, Ibnu
Taimiyah juga membahas mengenai keadilan dalam menetapkan harga/upah pekerja. Dalam analisisnya, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa upah
yang setara atau upah yang adil diatur menggunakan konsep yang sama dengan
”harga yang setara”. Dapat disimpulkan dari hal ini bahwa upah yang setara
dibentuk oleh tawar-menawar antara pemberi kerja dan pekerja. Namun apabila
terjadi ketidaksempurnaan pasar, maka upah tersebut dapat diatur oleh otoritas
untuk menjamin terjadinya keadilan.
3. Keuntungan yang setara
Dalam pemikirannya, Ibnu Taimiyah mengakui gagasan
tentang hak atas keuntungan dan hak penjual. Ia menganjukan bahwa para penjual berhak mendapatkan
keuntungan yang diterima secara umum tanpa merusak kepentingannya dan
kepentingan pelanggannya. Kita dapat mendefinisikan keuntungan yang setara
adalah keuntungan normal, yang secara umum diperoleh dari suatu sistem
perdagangan, tanpa adanya saling merugikan. Pengertian normal disini berarti
melewati proses pasar, dan bersifat wajar. Ibnu Taimiyah mengatakan ada keadaan
yang tidak memperbolehkan seseorang mengambil keuntungan dari pelanggannya.
Jika seseorang pembeli sangat membutuhkan suatu barang,
atau terikat untuk membeli suatu barang maka harga yang dikenakan padanya tidak
boleh melebihi harga yang diberikan pada konsumen lain. Artinya tidak boleh mengabil keuntungan lebih dari
keadaan orang tersebut, namun masih diperbolehkan mengambil keuntuangan wajar
dengan memberlakukan harga yang setara dengan pelanggan lain.
4. Relevansi dari gagasan itu bagi masyarakat
Sasaran utama dari adanya konsep harga yang adil adalah
memelihara keadilan dalam perekonomian. Untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil, maka
diperlukan adanya konsep yang jelas mengenai pemberlakuan harga. Pemerintah
sebagai otoritas harus menjamin terjadinya harga yang adil agar terjadi
keadilan dalam transaksi yang terjadi di masyarakat. Harga yang adil akan
memelihara masyarakat dari tindakan eksploitasi yang mungkin terjadi sekaligus
melindungi hak-hak konsumen dan produsen.
B. Mekanisme Pasar
Pandangan umum masyarakat pada masa itu menganggap kenaikan
harga terjadi akibat ketidakadilan atau malpraktek yang kemudian menjadikan
pasar menjadi tidak sempurna. Hal ini
mengindikasikan bahwa orang-orang pada saat itu menganggap bahwa harga akan
stabil jika tidak ada orang yang melakukan ketidakadilan di pasar, dan tidak
dikenal adanya faktor lain yang membentuk harga. Ibnu Taimiyah memiliki
pemikiran yang berbeda dari pandangan tersebut. Ia berkata: “Naik turunnya
harga tidak selalu berkaitan dengan kezaliman yang dilakukan seseorang,
sesekali alasannya adalah adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan dari
jumlah impor.
Ibnu Taimiyah mengidentifikasi dua sumber
penyediaan barang yaitu produksi lokal dan impor barang yang diminta (ma
yukhlaq awyujlab min dhalik al-maal al-matlub). Makna dari al-matlub adalah sinonim dari kata ”demand”,
sedangkan untuk menyatakan ”permintaan” beliau menggunakan ungkapan ”raghbat
fi al-shai” yaitu keinginan untuk memiliki suatu barang. Lebih jauh lagi,
Ibnu Taimiyah juga mengidentifikasi dua sumber suplai, yaitu produksi lokal dan
impor.
Dalam bukunya fatawa, menurut Ibnu Taimiyah,
ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan memiliki
konsekuensi terhadap harga, yaitu:
·
Keinginan/selera
penduduk
·
Jumlah para
peminta dari suatu barang
·
Tingkat
kebutuhan akan barang
·
Kualitas
peanggan
·
Alat pembayaran
yang dipakai
·
Ekspektasi
dari kemampuan mengembalikan pinjaman (dalam kasus pinjam-meminjam)
·
Kondisi
keamanan dari barang yang diperdagangkan
Dari pendapat Ibnu Taimiyah diatas dapat
diambil kesan adanya kemiripan antara konsep pasar yang beliau utarakan dengan
konsep yang kini disebut dengan fungsi penawaran dan permintaan walaupun beliau
tidak menyebutnya secara khusus.
C. Regulasi Harga
Dalam menyikapi boleh atau tidaknya suatu
otoritas memaksakan harga pada sekumpulan individu, para ulama memiliki 2
pandangan yang berbeda, Mahzab Hanbali dan Syafi’i, menyatakan bahwa pemerintah
sama sekali tidak memiliki hak untuk meregulasi harga, sedangkan Mahzab Maliki
dan Hanafi menyatakan bahwa regulasi harga boleh dilakukan oleh pemerintah.
Sikap Ibnu Taimiyah berada diantara dua
ekstrim tersebut. Beliau
berpendapat bahwa pada kondisi normal dimana tidak ada masalah di dalam
perekonomian, regulasi harga tidak boleh dilakukan, karena akan menyebabkan
terjadinya kerugian. Sedangkan pada kasus-kasus dan keadaan-keadaan khusus,
regulasi harga dapat diterapkan.
Kasus khusus antara lain apabila banyak
penjual yang hanya mau menjual dagangannya apabila dibayar dengan harga diatas
harga pasar atau sebaliknya ada penjual yang menjual dengan harga terlalu
rendah dibanding yang lain, maka pemerintah boleh mengeluarkan kebijakan price-ceiling dan price-floor (yang merupakan bentuk kebijakan
harga). Prinsip yang sama juga diterapkan Ibnu Taimiyah dalam membahas masalah
ketenagakerjaan dan barang jasa lainnya.
Prinsip dasar dari pemikiran Ibnu Taimiyah
tentang regulasi harga adalah ”Jika penduduk menginginkan kepuasan, para para
penjual harus menghasilkan barang dalam jumlah yang cukup untuk kepentingan
umum dan menawarkan produk mereka pada tingkat harga normal. Dalam keadaan ini regulasi harga tidak diperlukan. Namun,
jika keinginan seluruh penduduk tidak bisa dipenuhi tanpa memaksa harga yang
adil, harga harus diregulasi sedemikian rupa agar terjadi perdagangan yang
seadil-adilnya.
E. Opini
Jika suatu negara menginginkan adanya suatu
ekonomi yang sehat dan stabil maka aspek penegakan keadilan adalah suatu aspek
yang sangat krusial untuk dipenuhi. Suatu pasar tidak mungkin akan sehat apabila di dalamnya
terjadi tipu menipu antar komponennya, pasar yang tidak sehat akan menyebabkan
adanya high cost economy yang kemudian akan menghambat pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Oleh karena itu di dalam perekonomian sangat penting terciptanya
suatu keadilan, agar tidak terjadi saling exploitasi di dalamnya, agar
terciptanya kepastian dan kestabilan dalam perekonomian dan agar ekonomi
berjalan secara efisien.
Pemikiran Ibnu Taimiyah di atas adalah salah
satu aspek keadilan yang harus dipenuhi dalam sebuah negara. Aspek keadilan ini meliputi aspek keadilan harga, baik
menyangkut harga barang, jasa, upah dan keuntungan. Harga yang adil merupakan
harga yang merefleksikan persaingan di pasar, jika harga yang adil ini terjadi,
maka berarti dalam perdagangan tersebut terjadi mutual welfare yaitu kedua
belah pihak baik penjual dan pembeli sama-sama mendapatkan benefit atas
perdagangan tersebut dan tidak ada pihak yang dirugikan.
Harga yang adil di dalam perekonomian akan
berefek baik, selain meminimalkan exploitasi, memelhara keadilan, juga akan
membantu menyehatkan kondisi usaha di dalam negara tersebut. Oleh karena itu sangatlah penting bagi suatu negara untuk
mengkondisikan agar harga yang adil terjadi. Apabila ternyata pasar menunjukkan
gejala ketidaksempurnaan, maka pemerintah dianjurkan untuk meregulasi harga
tersebut agar harga yang adil tetap dapat terjad
No comments:
Post a Comment