Salah satu pertanyaan yang sering diajukan
oleh masyarakat yang menjadi nasabah pembiayaan
bank syariah yakni, mengapa rate of financing yang harus mereka bayar lebih
tinggi bila dibandingkan bungakredit bank konvensional? Untuk itu, artikel ini mencoba
menguraikan penyebab terjadinya kondisi tersebut, dengan mengambil studi kasus
di Malaysia, yang dianggap sebagai salah satu pusat perbankan dan keuangan
syariah dunia. Di negeri jiran tersebut, persoalan serupa juga menjadi sorotan
masyarakat. Berdasarkan data pada Tabel 1, perbedaan antara marjin profit yang
dibayarkan nasabah bank syariah, dengan bunga kredit yang dibayarkan nasabah
bank konvensional, berada pada kisaran satu hingga dua persen.
Pada kajian ini, tiga bank konvensional
terbesar dan tiga bank syariah terbesar diambil sebagai objek yang diteliti,
dengan melihat pada total aset, total deposit, dan total pembiayaan yang
disalurkan. Masuknya Maybank Islamic Berhad dan Public Islamic Bank Berhad
dalam daftar bank umum syariah (setelah sebelumnya adalah UUS), mampu menggeser
posisi Bank Muamalat Malaysia Berhad dan AmBank Islamic Berhad yang selama ini
mendominasi aset perbankan syariah di Malaysia bersama dengan Bank Islam
Malaysia Berhad (BIMB).
Rumus BBA
Secara umum, menurut Beik dan Arsyianti
(2006), produk pembiayaan pada bank syariah dapat dikelompokkan ke dalam dua
model, yaitu model bagi hasil dan model
pendapatan tetap. Model yang pertama terdiri atas pembiayaan musyarakah dan
mudharabah beserta turunannya.
Sementara model yang kedua terdiri atas
beragam jenis transaksi yang memberikan return tetap bagi pihak bank, seperti
murabahah (jual beli) dan ijarah (sewa menyewa).
Hingga saat ini, model pembiayaan kedua lebih
mendominasi praktik industri perbankan syariah. Hal ini disebabkan oleh
tingginya risiko yang harus ditanggung bank jika menggunakan transaksi model
pertama. Bahkan di Malaysia, akad Bai1 Bitsaman Ajil (BBA) menjadi pola
pembiayaan yang paling dominan (mencapai separuh dari total pembiayaan).
Berbeda dengan transaksi musyarakah dan mudharabah, yang nilainya masih di
bawah satu persen.
Menurut ekonom Malaysia, Saiful Azhar Rosly
(2005), BBA merupakan pembiayaan jual beli yang pembayarannya dilakukan secara
berangsur dalam jangka panjang. Bank Negara Malaysia (2006) mendefinisikan BBA
sebagai transaksi jual beli dengan pem-bayaran tertunda pada harga tertentu,
termasuk marjin keuntungan yang disepakati kedua pihak yang terlibat, yaitu
nasabah dan bank syariah. Sebagian ekonom syariah berpendapat bahwa BBA ini
pada dasarnya adalah long term murabahah.
Karena merupakan skema yang dominan, BBa akan
memengaruhi mahal murahnya pembiayaan. Pada praktiknya, marjin keuntungan dalam
pembiayaan BBA, dihitung berdasarkan formula yang mirip dengan perhitungan
bunga kredit konvensional. Sehingga, membandingkan variabel-variabel yang
digunakan dalam formula tersebut dapat memberikan jawaban, mengapa pembiayaan
bank syariah masih dianggap lebih mahal dibandingkan bank konvensional. Formula
tersebut menurut Rosly (2005) adalah sebagai berikut (lihat tabel 2)
Berdasarkan kedua rumus tersebut, ada tiga
variabel yang dapat diperbandingkan,yaitu cost of deposits, biaya overhead, dan
premi risiko kegagalan spread). Sedangkan premi risiko inflasi diasumsikan
sama, karena tingkat inflasi yang dihadapi tidak berbeda. Tabel 1 merangkum
secara lengkap perbandingan ketiga variabel ini dengan menggunakan data tahun
2007-2009.
Perbandingan tiga variabel
Variabel pertama adalah cost of deposits,
yaitu biaya yang dikeluarkan bank untuk dibagikan kepada nasabah Dana Pihak
Ketiga (DPK). Dengan kata lain, ia menunjukkan besarnya return yang dinikmati
oleh para penabung. Dari data yang ada, perbedaan antara bank syariah dan bank
konvensional tidak terlalu besar. Persaingan di antara keduanya berdasarkan
variabel ini relatif berimbang.
Kedua, rasio biaya overheads per capital.
Biaya overheads menunjukkan besarnyadana yang harus dikeluarkan oleh bank untuk
membayar biaya operasional tidak langsung, seperti gaji atau upah, tagihan
listrik, dan sejenisnya. Sedangkan capital adalah modal dasar yang dimiliki
bank untuk menjalankan usahanya. Variabel ini menunjukkan proporsi modal yang
digunakan bank untuk menutupi biaya overheads-nya.
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rasio
biaya overheads per capital bank syariah lebih baik bila dibandingkan dengan
bank konvensional. Kondisi ini, menurut penulis, lebih banyak dipengaruhi
oleh-konversi Maybank Islamic milik pemerintah dan Pub-be Islamic Bank menjadi bank
umum syariah.
Sedangkan yang ketiga adalah premi risiko
kegagalan nasabah. Penentuan komponen ini sangat ditentukan oleh karakter dan
kemampuan nasabah pembiayaan. Jika nasabah tersebut dapat dipercaya, maka bank
akan mengenakan tingkat premi risiko yang rendah terhadapnya. Demikian pula
sebaliknya.
Indikator yang biasanya digunakan pihak bank
dalam hal ini adalah Non-Performing Loan (NPL) pada perbankan konvensional dan
NPF (Non-Performing Financing) pada perbankan syariah. Rasio NPL dan NPF ini
menunjukkan pengalaman bank di masa lalu, sehingga bank yang bersangkutan dapat
menentukan tingkat premi risiko kegagalan dalam situasi tersebut.
Dari data yang ada bank syariah tampaknya
masih menghadapi nasabah yang relatif kurang dapat dipercaya dibandingkan dengan
bank konvensional.
Sehingga secara keseluruhan, pada kasus
Malaysia, bank syariah menghadapi premi risiko kegagalan yang lebih tinggi
dibandingkan bank konvensional. Inilah faktor utama yang membuat marjin profit
yang menjadi kewajiban nasabah pembiayaan bank syariah, lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bunga kredit yang menjadi kewajiban nasabah bank
konvensional.
Kesimpulan
Dari analisis di atas, dapat disimpulkan
bahwa variabel yang mempengaruhi mahal atau murahnya sebuah pembiayaan adalah
rasio biaya overheads per capital dan premi risiko kegagalan nasabah. Oleh
karena itu. ada dua solusi yang dapat meningkatkan kinerja pembiayaan bank
syariah.
Pertama, bank syariah perlu meningkatkan
kehati-hatian dalam memilih nasabah pembiayaannya, agar NPF dapat
diminimalisir. Kedua, jumlah dana pihak ketiga (DPK) harus terus menerus
ditingkatkan.
Di sinilah peran penting pelaku usaha dan
masyarakat secara umum untuk menabung di bank syariah. Jika tidak, maka
pembiayaan bank syariah akan selalu dianggap Iebih mahal.
Laily Dwi Arsyianti, Dosen Ekonomi Syariah
FEM IPB dan UIKA Bogor
Dr Irfan Syauqi Beik, Dosen IE-FEM IPB
Dr Irfan Syauqi Beik, Dosen IE-FEM IPB
Sumber : EkonomiIslami.WordPress.com
No comments:
Post a Comment