Saturday 29 December 2012

Mengurai Praktek Akad Perbankan Syariah di Indonesia


 “Orang yang tidak mengerti fikih muamalat lalu melakukan bisnis, ia akan terjerumus pada riba, semakin terjerumus, semakin jauh terjerumus” (Ali bin Abi Thalib)

Pendahuluan

Sejak dibubarkannya institusi poilitik umat Islam yakni Khilafah Turki Utsmani pada tahun 1924 M, umat Islam di negeri-negeri muslim secara sempurna mencampakkan sistem Islam dan mulai menggantinya dengan sistem sekuler, baik kapitalisme maupun sosialisme. Pencampakan tersebut tak hanya pada ranah sistem politik dan pemerintahan, namun juga mencakup berbagai aspek termasuk sistem ekonomi.


Selama puluhan tahun umat Islam dipisahkan dan diasingkan dari sistem ekonomi Islam itu sendiri. Umat Islam hanya disuguhkan dua pilihan sistem ekonomi, yakni antara kapitalisme ataukah sosialisme.  Hingga pada tahun 1960-an sistem ekonomi Islam mulai dikenal lagi. Munculnya kembali sistem ekonomi Islam merupakan sebuah sikap ketidaksepakatan dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis.

Dalam ekonomi kapitalisme, lembaga perbankan menjadi kunci terhadap pertumbuhan ekonomi. Munculnya bank islam merupakan sebuah usaha untuk menghilangkan bentuk riba yang telah berakar dalam dunia perbankan, terutama pada perbankan konvensional dan memperbaiki sistem ekonomi yang telah lama rusak akibat kesalahan sistem yang diterapkan. Munculnya ide tentang pendirian bank islam berawal dari Organisasi Konferensi Islam pada tahun 1970 di Jeddah, Saudi Arabia. Sehingga disepakati bahwa bank islam berada d ibawah kendali OKI. Pada tahun 1975 didirikanlah bank islam yang bernama Islamic Development Bank di Jeddah[1].

Berbeda dengan negara lain, di Indonesia istilah “ekonomi syariah”, “bank syariah”, dan seterusnya lebih familiar dibanding dengan istilah “ekonomi Islam”, “Islamic economy” , atau “Islamic Banking”.  Hal ini dikarenakan era kekuasaan Orde Baru hingga tahun 1990-an masih terjangkiti “phobia” terhadap gerakan atas nama Islam.

Perkembangan bank syariah di Indonesia diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992.  Sebelumnya, telah banyak seminar-seminar tentang pembentukan bank syariah yang dilakukan oleh MUI dan ICMI.  Dan hasilnya adalah lahirnya bank muamalat indonesia sebagai bank syariah pertama di indonesia. Ternyata, munculnya BMI telah memacu bank-bank lain untuk beralih sistem dari konvensional menjadi syariah, sehingga muncul bank-bank syariah lain seperi Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan banyak bank unit syariah lainnya.

Sebuah mikro ekonomi Islam yang berjalan pada sistem makro ekonomi kapitalisme, membuat sebagian umat Islam ragu akan praktek dari lembaga keuangan bank syariah ini. Disamping itu standar untuk menilai bank syariah sebenarnya bukan pada aspek manfaat atau kinerjanya, melainkan sejauh mana bank syariah berpegang teguh dengan syariah Islam.  Tulisan ini berusaha memaparkan beberapa hal terkait praktek akad-akad yang terdapat di perbankan syariah terutama di Indonesia.

Kedudukan Bank Syariah

Sejak dikeluarkannya UU Perbankan No. 7 tahun 1992, Indonesia mulai menjalankan sistem perbankan ganda, yakni perbankan konvensional dan perbankan syariah.

Dalam pengeluaran fatwa yang khusus terkait masalah muamalah, pemegang otoritas tertinggi di Indoneisa berada pada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). DSN merupakan badan otoritas yang memberikan saran kepada institusi terkait (Bank Indonesia, Departemen Keuangan, atau Bapepam) berkaitan dengan operasi perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, mengoordinasi isu-isu Syariah tentang keuangan dan perbankan syariah, dan menganalisis dan mengevaluasi aspek-aspek syariah dari produk baru yang diajukan institusi.

Dalam bank Syariah sendiri, juga terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS mempunyai peran dalam mengawasi jalannya Bank Syariah agar sesuai dengan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. DPS dibentuk berdasarkan usulan Bank Syariah yang diajukan kepada DSN-MUI. Kemudian DSN-MUI memberikan rekomendasi susunan anggota DPS kepada Bank Syariah.

Dalam prosedurnya, fatwa DSN akan dikeluarkan jika ada permintaan dari masyarakat. Dalam prakteknya, DSN selalu didampingi oleh praktisi ekonomi dan pembuat peraturan di dalam prosedur penyusunan fatwa. Hal inilah, yang mengakibatkan fatwa DSN menunjukkan kurangnya independensi[2].

Akad-akad di Bank Syariah

Secara garis besar, aktivitas bank syariah ada dua macam. Pertama: aktivitas perdagangan (a’mal tijariyah) sebagai pengganti aktivitas ribawi. Ini dijalankan melalui berbagai macam akadnya, seperti mudharabah,murabahah dan musyarakah dalam sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, dan sebagainya. Kedua: aktivitas jasa perbankan (khidmat mashrifiyah) dalam berbagai bentuknya dengan menarik imbalan jasa, misalnya jasa transfer (tahwil) dan penukaran mata uang (sharf, currency exchange).

Adapun aktivitas kedua hukumnya jaiz (boleh) secara syar’i selama dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan membahas sebagian dari praktek akad-akad yang termasuk pada aktivitas perdagangan.

1. Praktek Pembiayaan Mudharabah

Secara singkat mudharabah merupakan salah satu  syirkah penyerahan modal uang kepada orang (pengelola) untuk menjalankan usaha sehingga ia mendapatkan persentase keuntungan. Pengelola tidak ikut menyertakan modal, tetapi menyertakan tenaga dan keahliannya dan tidak mendapatkan gaji atau upah dalam menjalankan usahanya. Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak ikut campur dalam pengelolaan usaha tersebut. Pemilik dana akan mendapatkan bagian dari hasil usaha tersebut dan juga bersedia menanggung kerugian apabila usaha tersebut mengalami kerugian.

Dalam prakteknya di bank syariah di Indonesia, pengelola usaha (mudharib) merupakan nasabah. Di sini mudharib juga diharuskan adanya jaminan kepada bank syariah. Sistem bagi hasil menggunakan sistemrevenue sharing, dimana  biaya  (seperti biaya tenaga kerja, administrasi, penyusutan, dan biaya operasional lainnya) tidak dibebankan bersama, melainkan dibebankan hanya pada pengelola (mudharib). Keuntungan pengelola diperoleh dari pendapatan (laba kotor) dikurangi biaya kemudian dikali persentase bagi hasil. Sedangkan keuntungan pemodal diperoleh dari pendapatan (laba kotor) dikali persentase bagi hasil.

Praktek tersebut menyalahi syariah, dimana Yang dijadikan patokan seharusnya adalah prinsip profit and lost sharing (bagi-hasil keuntungan dan kerugian), bukan revenue sharing (bagi-hasil pendapatan). Keuntungan dan kerugian itu mengikuti kontribusi syarîk (mitra). Kontribusi para mitra itu bisa berupa harta/modal, bisa berupa aktivitas (tasharruf) (tenaga, pikiran dan waktu) menjalankan aktivitas bisnis syirkah itu. Prinsip dalam sharing keuntungan dan kerugian itu adalah seperti ungkapan oleh Ali bin Abi Thalib ra. yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq di Mushannaf-nya: “Kerugian itu berdasarkan harta (modal), sedangkan keuntungan berdasarkan kesepakatan mereka (para mitra)”.

Prinsip (hukum) ini juga dipegang oleh asy-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Qatadah, al-Hakam, Hamad, Thawus, Ibrahim, Abu Qilabah dan lainnya.[3]

Sampai saat ini belum ada bank syariah yang menerapkan prinsip Profit Sharing dalam pendistribusian hasil usaha. Setidaknya ada faktor yang menyebabkan prinsip ini sulit untuk diterapkan yakni faktor internal dari perbankan syariah itu sendiri, yaitu ketidaksiapan manajemen perbankan syariah untuk menerapkan prinsip ini[4].

2. Praktek Pembiayaan Musyarakah

Istilah musyarakah dalam ekonomi syariah sebenarnya merujuk pada syirkah ‘Inan, dimana ada dua orang / badan masing-masing mempunyai modal kemudian mengelola bersama suatu usaha.

Pada praktek bank syariah di Indonesia, sebagian besar hanya pihak bank yang memberikan kontribusi dana, adapun sistem bagi hasilnya menggunakan sistem revenue sharing[5]. Praktek tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip syariah seperti halnya yang sudah dijelaskan pada poin 1 di atas. Dengan praktek revenue sharing, karenanya kita tidak pernah mendengar bank syariah mengalami kerugian. Meski usaha merugi, bank tidak akan merugi. Minimal, bagi hasil mendapatkan 0 tetapi modalnya tetap utuh.

3. Praktek Pembiayaan Murabahah

Murabahah merupakan bentuk pembiayaan dimana bank syariah membeli barang secara tunai berdasarkan permintaan nasabah, kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut secara tidak tunai dengan harga pokok barang ditambah persentase laba yang disepakati kedua pihak, contohnya:

Seseorang ingin membeli sebuah mobil seharga Rp. 100 juta, lalu ia meminta pihak bank untuk membelinya atas nama bank dan dia berjanji, jika bank telah membeli mobil tersebut dia akan membelinya dari bank dengan cara tidak tunai seharga Rp. 100 juta ditambah laba untuk bank sebanyak 10% dari harga, total harga menjadi Rp. 110 juta yang dibayar dalam bentuk angsuran selama 2 tahun.

Dalam praktek bank syariah di Indonesia, nasabah diwajibkan memberikan jaminan (agunan). Agunan ini merupakan barang yang dibeli oleh nasabah dalam akad murabahah ini. Praktek ini tentunya bertentangan dengan syariah, sebab yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi. [6]

Disamping itu, barang belum jelas dimiliki penjual (Bank) saat akad penjualan dengan pembeli (nasabah). Praktek ini tentu bertentangan dengan syariah, sebab bank tidak boleh menjual kepada nasabah sebelum dimilikinya secara riil bukan sekedar milik di atas kertas, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam ra. Ia berkata:

“Wahai Rasulullah! Seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang yang aku tidak menjualnya karena tidak aku miliki, kemudian aku pun membeli barang tersebut dari pasar”. Maka Nabi Saw menjawab: “jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!”. (HR. Abu Daud)

Dan juga Sabd Nabi SAW: “Hai keponakanku! Bila engkau membeli barang jangan dijual lagi sebelum terjadi serah terima” (HR. Baihaqi) [7]

Selain itu dalam prakteknya, pihak bank selaku penjual mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari produsen untuk dijual kembali kepada nasabah tersebut. Praktek ini merupakan rekayasa pelegalan riba, karena kepemilikan terhadap barang hanya di atas kertas dan hakikat transaksi ini adalah bank meminjamkan uang yang akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah yang lebih banyak. Ini merupakan termasuk riba qardh.[8]

4. Praktek Pembiayaan Ijarah 

Ijarah muncul akibat adanya kebutuhan barang oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan. Secara teknis praktek ijarah merupakan perubahan cara pembayaran sewa dari tunai di muka menjadi angsuran dan/atau pengunduran periode waktu pembayaran.

Nasabah mengajukan permintaan untuk menyewa barang kepada bank. Bank kemudian mencari barang yang diinginkan nasabah untuk disewa, kemudian bank membayar sewa tersebut di muka secara penuh kepada pemilik barang. Selanjutnya bank mengadakan akad sewa terhadap nasabah dengan ketentuan angsuran hingga jatuh tempo.

Namun, ada praktek di beberapa bank syariah yang perlu dicermati, yakni penyediaan dana untuk menyewa barang disetorkan langsung ke rekening nasabah, yang selanjutnya atas nama bank syariah (wakalah), nasabah melakukan penyewaan barang dari pemilik barang.

5. Praktek pembiayaan ijarah muntahia bittamlik

Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) pada dasarnya merupakan perpaduan antara ijarah dan jual beli. Dari sisi ijarah, perbedaan IMBT terletak pada opsi untuk membeli barang dimaksud pada akhir periode. Sedangkan dari sisi jual beli, perbedaan IMBT terletak pada adanya penggunaan manfaat barang dimaksud terlebih dahulu melalui akad ijarah (sewa), sebelum transaksi jual beli dilakukan.

Dalam praktek IMBT yang perlu dicermati bahwasannya di beberapa bank syariah biasanya mengharuskan bagi nasabah untuk membeli barang pada akhir periode yang dituangkan dalam perjanjian. Praktek ini tentunya melanggar ketentuan syariah, dimana terjadi dua akad dalam satu transaksi (shafqatain fi shafqat), yakni akad ijarah dan bai’ berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad: “Nabi SAW melarang melakukan dua transaksi dalam satu transaksi”. Serta berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa melakukan dua transaksi, maka baginya harta yang paling sedikit atau (kalu tidak, maka) riba”.[9]

6. Praktek pembiayaan salam

As-Salam mempunyai arti yakni seseorang yang memberikan bayaran di muka untuk mendapatkan barang yang masih abstrak dengan jaminan bahwa ia akan menerimanya pada masa tertentu. Salam termasuk transaksi jual beli.[10]

Dalam praktek bank syariah di Indonesia, pembiayaan salam muncul akibat adanya permintaan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas oleh nasabah pembeli kepada bank syariah selaku penjual. Nasabah dan Bank kemudian sepakat (terjadi akad) untuk membayar harga dan waktu tangguh untuk barang yang disepakati. Bank kemudian mencari produsen yang sanggup untuk menyediakan barang dimaksud. Pembayaran oleh nasabah dilakukan sebagian di awal dan sisanya sebelum barang diterima atau sisanya diangsur.

Praktek pembiayaan salam di beberapa bank syariah  tidak terbatas pada hasil pertanian. Setiap pembelian barang apapun yang memerlukan tahapan pemesanan, proses produksi, serta penangguhan pengiriman dapat dilakukan akad salam.

Praktek ini tentunya harus dicermati, sebab tidak semua jenis barang bisa dilakukan akad salam. Yang demikian itu karena praktek as-salam adalah jual beli terhadap benda yang tidak dimiliki dan terhadap benda yang belum sepenuhnya dimiliki. Keduanya merupakan praktek yang terlarang, namun Salam dikecualikan dari larangan itu berdasarkan nash yang ada. Dengan demikian, barang/benda yang padanya akan diterapkan praktek Salam haruslah ada nash/dalilnya. Dengan merujuk pada nash-nash yang ada, maka salam bisa dilakukan pada setiap barang yang diukur, ditimbang, dan dihitung (al-ma’dud)[11]. Syarat tersebut juga disepakati oleh empat imam madzhab (Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki)[12].

Praktek akad salam di bank hampir selalu dilakukan berupa salam paralel. Di mana pada akad pertama nasabah pembeli tidak membayar uang di muka barang yang dibeli, tetapi meminta bank untuk membiayai pengadaannya terlebih dahulu. Pada akad kedua, bank syariah memesan barang kepada produsen dengan pembayaran di muka dan penyerahan tangguh.

7. Praktek qardh

Secara etimologi qardh berarti memberikan harta kepada seseorang atas dasar belas kasihan dan si peminjam akan mengembalikan gantinya setelah menggunakannya[13].

Dalam praktek perbankan syariah, qardh diartikan sebagai pinjaman kebajikan tanpa imbalan, biasanya untuk pembelian barang-barang fungible (barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran dan jumlahnya). Qardh biasa digunakan untuk menyediakan dana talangan kepada nasabah (muqtaridh).

Qardh biasa digunakan dalam jasa/produk dana talangan haji, dimana nasabah yang akan mendaftarkan haji ke Depag akan diberikan dana talangan dari bank dan nasabah harus mengembalikan dana talangan tersebut dalam tempo tertentu. Dalam prakteknya, bank mengenakan biaya administrasi yang disebut dengan istilah ujrah. Praktek ini hukumnya haram, sebab hal ini merupakan penggabungan dua akad menjadi satu akad, yakni penggabungan aka qarhd dan ijarah[14].

Bank (selaku peminjam dari nasabah) atas prakarsa sendiri boleh memberikan hadiah kepada nasabah pemberi pinjaman (muqridh) tanpa adanya syarat yang ditetapkan di awal. Pemberian hadiah ini sebagian ulama seperti halnya imam An-Nawawi dan Syafii membolehkannya dengan dalil hadits Nabi SAW yang berbunyi:

“Bahwa Nabi saw. pernah berutang seekor anak unta. Lalu datanglah unta sedekah. Kemudian Nabi saw. menyuruhku untuk membayar anak unta itu. Aku berkata, “Saya tidak menemukan selain unta yang lebih baik berupa unta umur enam tahun.” Rasul saw. bersabda: Berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik pengembaliannya (HR al-Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).” [15]

Sementara Imam Maliki, Hanafi, Hambali melarang aktivitas memberi hadiah pada pemberi pinjaman, meski tidak disyaratkan di awal.[16]

8. Praktek pembiayaan Istishna’

Istishna adalah akad terhadap barang yang dijual dalam tanggungan, dimana kerjanya disyaratkan atas pembuat/produsen[17]. Dari Anas r.a., ia berkata:

“Nabi SAW meminta dibuatkan sebuah cincin dan beliau bersabda, “Kami sudah mengambil cincin dan kami ukir dengan sebuah ukiran, maka hendaklah jangan seorang pun mengukir yang sama.” Anas berkata, “Sungguh aku melihat kilau sinarnya di jari kelingking Rasulullah SAW” (HR. An-Nasa’i).

Secara teknis pembiayaan istishna’ di bank syariah sama dengan teknis pembiayaan salam. Barang yang dipesan merupakan barang-barang yang di dalamnya membutuhkan aktivitas perakitan, pembentukan, pembangunan, atau percampuran yang tidak mungkin lagi dipisahkan penyusunnya. Dalam hal ini yang perlu dicermati adalah adanya akad paralel. Di mana pada akad pertama nasabah pembeli tidak membayar uang di muka barang yang dibeli, tetapi meminta bank untuk membiayai pengadaannya terlebih dahulu. Pada akad kedua, bank syariah memesan barang kepada produsen dengan pembayaran di muka dan penyerahan tangguh.

Khatimah

Praktek-praktek perbankan syariah di Indonesia masih banyak yang tidak sesuai dengan syariah. Istilah-istilah syariah seolah dipakai untuk legalisasi praktek-praktek muamalah yang bathil bahkan ribawi hanya demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Ketidaksiapan manajemen bank serta kurang independennya pihak DSN, mengakibatkan pelaksanaan perbankan syariah hanya sebagai produk pilihan dari sistem ekonomi kapitalis itu sendiri, dan justru semakin memalingkan dari kebutuhan umat Islam akan penerapan syariah Islam secara kaffah. Wallahu’alam. [
al-khilafah.org
[2] M. Cholil Nafis. Teori Hukum Ekonomi Syariah. UI Press: 2011.
[3] Yahya Abdurrahman. Syirkah. Di dalam. Majalah Al Wa’ie edisi Oktober 2011.
[5] Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Rajawali Press: 2011. Hal 217.
[6] Yahya Abdurrahman. Ar-Rahn (Agunan). Di dalam. Majalah Al-Wa’ie Edisi Juni 2007.
[7] Yusuf Bin Abdullah Asy-Syubaili. Ilmu Bisnis & Perbankan.Toobagus:2011. Hal: 133-134.
[8] Yusuf Bin Abdullah Asy-Syubaili. Ilmu Bisnis & Perbankan.Toobagus:2011.. Hal: 135.
[9]  Taqiyuddin An-Nabhani. Kepribadian Islam Jilid 2. HTI Press: 2011. Hal:505-506.
[10] Taqiyuddin An-Nabhani. Kepribadian Islam Jilid 2. HTI Press: 2011. Hal:484.
[11] Ibid 10.
[12] Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab. Cetakan ke-13. Hasyimi: 2010. Hal: 245.
[13] Yusuf Bin Abdullah Asy-Syubaili. Ilmu Bisnis & Perbankan.Toobagus:2011. Hal: 96.
[14] Shiddiq Al-Jawi. Hukum Pembiayaan Talangan Haji. Di dalam. Tabloid Media Umat Edisi 45.
[15] Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab. Cetakan ke-13. Hasyimi: 2010. Hal: 245.
[16] Ibid 15.
[17] Ziyad Ghazal. Buku Pintar Bisnis Syar’i (Rancangan Undang-undang Perdagangan Negara Khilafah). Al-Azhar Press: 2011. Hal: 128.

No comments:

Post a Comment